Jumat, 21 Juni 2024

Simulacra & Perversion

 

Primordial Nature




  1. SIMULACRA & PERVERSION


    Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam kebenaran. Makanan batin yang tidak sehat meracuni jiwa.

    Batin harus mendapat asupan kebenaran agar dapat berpikir secara sehat menyimak realitas. Sedangkan batin yang sakit tidak dapat berpikir benar sehingga menciptakan kepalsuan (simulacra) : kefanaan dengan ilusi kebakaan (permanensi) yang sekalipun terlihat cair namun menutupi realitas dengan kepalsuan sehingga memunculkan kejiwaan yang sakit....keterbolak-balikan yang busuk (perversion).

    Simulacrum, secara etimologis berasal dari bahasa Latin 'simulare', yang berarti menyalin, mengcopy, mewakili. Tulisan2 Plato adalah salah satu tulisan2 paling awal dimana menyebutkan bahwa itu adalah act of deceitful (tindakan penipuan). Ia menekankan bahwa dalam prosesnya, imaji didistorsikan secara sengaja agar yang palsu terlihat sama dengan aslinya. Dis-simulasi adalah berpura-pura tidak memiliki apa yang seseorang miliki; sedangkan Simulasi adalah berpura-pura memiliki apa yang tidak dipunyai.

    Jadi Simulacrum adalah suatu pernyataan absence (ketiadaan) --bukan existence (keberadaan). Ketiadaan terhadap suatu kualitas yang tidak dipunyainya.
    “Sesegera setelah kita ingin merasakan atau memutuskan untuk merasakan, perasaan adalah bukan lagi perasaan, tetapi merupakan IMITASI dari perasaan, bayangan dari perasaan".
    ~ “Immortality” , Milan Kundera

    Donald Metzer mengatakan,
    "In perverse states of mind, dependence upon good parts of the self is replaced by passivity towards bad parts of the self, in a mood of despair. The perverse states of mind are habitual, addictive or criminal.”
    (Dalam kondisi batin yg brengsek (pemutar-balikan), ketergantungan pada bagian diri yang baik digantikan oleh kepasifan terhadap bagian yang buruk dari diri, dalam mood keputus-asaan. Kebrengsekan-terbolak-balik dari batin menjadi kebiasaan, mencandu, bahkan kriminal.)
    Ia menambahkan, “A perverse impulse attempts to alter good into bad while preserving the appearance of the good. A perverse state of the mind is the caricaturing of love relations by sado-masochism.” (
    Dorongan kebrengsekan mencoba mengubah-tampilkan yang baik menjadi buruk manakala tetap berusaha menjaga penampilan (dirinya) sebagai "yang baik". Keadaan kebrengsekan dari batin adalah mengkarikaturkan hubungan cinta dengan cara sado-masokis (kesadisan).

    Jadi, dengan kata lain...karikatur dari 'kebajikan' itu adalah simulacrum dari kebrengsekan yang nyata. Usaha mensimulasikan kesan positif dari yang negatif. Ke-tiada-an [kebajikan] itu disamarkan dengan ke-ada-an, ini adalah inti dari kebrengsekan tersebut. Ini adalah awal dari segala kebohongan, manipulasi, kepalsuan, distorsi yg berusaha menyerang pemikiran yg berpijak pada realitas. Korupsi emosional dan manipulasi realitas diindoktrinasikan, dimana penyamaran dan pemalsuan diciptakan. dimana makna dan rujukan yg benar dimusnahkan; suatu kondisi dimana keputus-asaan, apathy, kehancuran, kebencian, kecemburuan dipulaskan dalam simulacra yg diberi judul "cinta dan kebenaran". Semua itu merupakan suatu tindakan pengalihan dari kegalauan yang nyata. Pemutarbalikan sebagai suatu usaha pertahanan dari kegilaan dengan cara memutuskan diri dari realitas. Perjalanan spiral menuju inti neraka dimana Iblis pada dirinya sendiri berdiam. Note : Iblis adalah bapa dari segala kepalsuan (ketidakbenaran).

    Seperti dalam Novel karya George Orwel berjudul "1984" dimana seluruh penduduk dunia dikuasai oleh "The Big Brothers", tirani yang menjajah dan membelenggu sampai setiap gerakan kecil dalam kehidupan pribadi masyarakatnya. Dimana dalam negeri khayal itu ada "Departemen Kebenaran" yang tugasnya untuk menetapkan kesalahan sebagai kebenaran dan memusnahkan apa yang difatwa salah (walau sebetulnya benar), "Departemen Hukum" yang tugasnya adalah untuk menghukum setiap orang yang menentangnya; "Departemen Cinta" yang bertugas untuk mengembangkan cinta buta rela menyerahkan jiwa raga bakti pada sang idol dan memerangi para penentang2 "cinta"; "Departemen Kemiskinan" yang bertugas memelihara kemiskinan untuk ops "keindahan beramal" sehingga dapat memperalat mereka sebagai sumber daya politik yg gampang dibeli (disuap); "Departemen Pendidikan" yang bertugas mencuci-otak rakyat dengan informasi palsu; Departemen "Kebebasan" yang bertugas agar para bajingan dapat 'bebas' menjalankan paksa memaksa atau memanipulasi sesamanya untuk kejayaan sang tiran.  Bentuk "Panitia Kemerdekaan" agar rakyat ternina-bobo tidak sadar bahwa sebenarnya masih dijajah. Semuanya menjadi terbolak-balik dengan segala macam tipu daya untuk menciptakan peternakan manusia bagi kepentingan segelintir elit politik.

    Originally posted on : Tuesday, June 3, 2014 at 9:39am UTC+07


    ----------------------

    TAMBAHAN ULASAN PENJELASAN  pasca Kerusuhan 22 Mei 2019
    Ini tulisan lama, tapi mungkin kata2nya terlalu sulit. Ini dipostingkan di awal-awal page sebelum banyak orang menyadari atau mengerti fenomena itu, maka tidak banyak pertanyaan atau perenungan. Oleh karena itu saya angkat sekali lagi, agar setelah kejadian-kejadian politik putar-balik di negeri kita ini diamati, dialami dan dirasakan oleh semua pihak, maka topik ini mencuat kembali menjadi relevan dengan kemengadaan anda sekalian.

    Ok, saya copaskan dulu quote dari artikel lama itu untuk bahan menjelaskan alinea-alinea sulit :

    [Quote] [1] Simulacrum, secara etimologis berasal dari bahasa Latin 'simulare', yang berarti menyalin, mengcopy, mewakili. Tulisan2 Plato adalah salah satu tulisan2 paling awal dimana menyebutkan bahwa itu adalah act of deceitful (tindakan penipuan). [2] Ia menekankan bahwa dalam prosesnya, imaji didistorsikan secara sengaja agar yang palsu terlihat sama dengan aslinya. [3a] Dis-simulasi adalah berpura-pura tidak memiliki apa yang seseorang miliki; [3b] sedangkan Simulasi adalah berpura-pura memiliki apa yang tidak dipunyai.

    [4] Jadi Simulacrum adalah suatu pernyataan absence (ketiadaan) --bukan existence (keberadaan). [5] Ketiadaan terhadap suatu kualitas yang tidak dipunyainya.
    [6] “Sesegera setelah kita ingin merasakan atau memutuskan untuk merasakan, perasaan adalah bukan lagi perasaan, tetapi merupakan IMITASI dari perasaan, bayangan dari perasaan".
    ~ “Immortality” , Milan Kundera

    [End_quote]

    Penjelasan point per point :

    [1] Tindakan penipuan, tentu semua orang tahu. Tidak perlu penjelasan lagi.

    [2] Seorang penipu tentu harus mengesankan bahwa barang imitasinya semirip mungkin dengan aslinya, bukan?

    [3a] Misal seseorang memiliki sifat tamak, tapi berusaha memunculkan citra bahwa ia tidak tamak. Itulah Dis-simulasi.

    [3b] Misal suatu peristiwa tidak pernah terjadi dalam sejarah, tapi dibikin "sejarah buatan" atau dokumen2 palsu seolah peristiwa itu benar-benar terjadi. Itulah Simulasi.

    [4] Jadi simulacrum adalah sebuah istilah untuk menunjukkan suatu ketiadaan. Misal : "Simulacra Keadilan" berarti ketiadaan keadilan (walau seolah-olah selalu dikumandangkan jargon keadilan). "Simulacra Damai" berarti ketiadaan damai (walau selalu ditekan-tekankan bahwa kami adalah kaum damai).

    [5] Kalimat dengan dua negative ini mungkin membingungkan. Penjelasannya begini :
    Ketika seseorang mengklaim pihaknya penuh kasih, padahal tidak memiliki kasih. Maka itu disebut Simulakra Kasih , artinya: situasi ketiadaan kasih (misal hubungan kontraktual / transaksional) tapi didefinisikan ulang (dipelintir) sebagai : kasih.....(yang senyatanya tiada).
    Maka dikatakan sebagai "Ketiadaan terhadap suatu kualitas yang tidak dipunyainya." Karena :
    - kalau anda menrumuskannya sebagai "Ketiadaan terhadap suatu kualitas yang ADA dipunyainya" ...maka kalimat itu jadi SALAH, karena dia tidak pernah punya.
    - kalau anda merumuskannya sebagai "KeADAan terhadap suatu kualitas yang tidak dipunyainya"....maka kalimat itu JUGA SALAH, karena tidak pernah ada suatu keADAan itu.

    [6] Bayangkan dalam situasi tidak ada keadilan, semua diberlakukan berdasarkan diskriminasi mayoritas-minoritas. Benar-salah bukan lagi berdasar benar-salah, tetapi berdasar mayoritas-minoritas. (Parahnya! Status 'mayoritas' itu pun adalah hasil Simulacra! Simulacra of simulacra ..dst ad infinitum). Lalu anda dipaksa mengamini itu sebagai keadilan. Maka "keadilan" itu akan terpaksa anda rasakan sebagai keadilan (tapi anda tidak boleh mengatakan dipaksa!). Jadi jelas sebetulnya itu bukan perasaan sejati lagi, tapi bayang-bayang dari perasaan, atau imitasi dari perasaan adil yg sesungguhnya. Dan itu bisa diciptakan dengan dukungan media audio-visual yang mengesankan perasaan itu nyata. Maka ketika anda-anda yang peka kesejatian merasakan suatu keganjilan lalu memprotes / menentangnya, dengan segera anda dituduh sebagai anti-keadilan!
    Bahkan dengan segera, massa pun turut tergerak karena 'merasa' anda anti-keadilan...lalu anda dihakimi. Itulah maka dikatakan sebagi imitasi-perasaan.

    --------------------


      Oya, sebenarnya terdapat perbedaan definitif dari "Simulasi" dan "simulacra".

      Simulasi itu kalau realitasnya ada lalu disimulasi.
      Misal : balapan mobil formula-1 ada, lalu dibuat simulasi gamenya di komputer.

      Simulakra itu kalau realitasnya tidak pernah ada.
      Misal : Game perjalanan ke planet Saturnus.
      Kenyataannya tidak pernah ada.
       
      Maka kalau misal dikatakan Mr.X pernah turun ke dunia dan melakukan penyelamatan dunia, padahal tidak pernah ada realnya Mr.X, nah itu disebut SIMULACRA, bukan simulasi. Semua bukti2 pendukungnya (dokumen, artefak, kesaksian2, dsb) dibuat belakangan.
      Dokumennya real, isinya tidak real.
      Artefaknya real, tapi kreasi imajinasi.
      Kosa kata dalam kitabnya sama, tapi artinya sudah diganti / digeser.
       
    • Maaf bukan bermaksud menyinggung pihak2. Tetapi situasinya semakin urgent
      pada dasarnya wabah kegilaan itu cepat menular
      ilusi itu lebih disenangi mahluk2 di dalam matrix.
      Semakin tebal egonya, semakin mudah diilusi. (Prinsip yg sama utk Gendam / Santet / Sihir, dll).
      Maka perjuangan sejatinya harus dengan penyadaran
      dan itulah mengapa para nabi, martir, dsb dibunuh...karena mewartakan realitas. Tapi kenyataannya si setan sudah menghack proses itu...jadi isinya "nabi", "martir" dsb = the agents
      You will never know the truth. But you can know Truth yang selalu hadir di nowness. Truth is never in a past tense.


    ---------------------

    Tulisan yang terkait :

    1. Blood for Gold

    2. New World Order
    3. Geopolitik Agama
    4. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
    5. Akhir Zaman

     

    0 

    Tambahkan komentar

Memuat

Kamis, 14 Mei 2020

NEGERI TANPA NABI

Negeri Tanpa Nabi
Kenapa Tuhan tidak mengutus atau melahirkan seorang nabi di bumi Nusantara ini?.Kenyataan itu yang membuat para manusia mental budak, keranjingan memuja bangsa lain sekaligus memandang rendah bangsa sendiri. Namanya juga orang mabuk dogma, kencing onta pun di puja sebagai air dari Surga. Ada konsleting di otaknya, tidak lagi merasa sebagai budak yang ditindas/jajah. Penindasan/keterjajahan itu justru menjadi semacam kebutuhan, bahkan menjadi kebanggaan. Koplak khan? Jadi budak kok bangga.
Kenapa Tuhan tidak mengutus atau melahirkan seorang nabi di bumi Nusantara?. Itu justru menunjukkan betapa sangat dekat dan sayangnya Tuhan pada bangsa ini, sekaligus menunjukkan betapa cerdas dan dalamnya spiritual di Nusantara ini.
Bangsa ini tidak butuh hadirnya seorang nabi, karena kita bangsa beradap yang udah dekat dengan sang pencipta alam semesta. Hanya bangsa bar-bar tak tahu etika, estetika dan adab yang butuh hadirnya seorang nabi sebagai pemandu, petunjuk dan jadi contoh ketauladanan. Logika sederhananya khan seperti itu. Hanya orang buta jalan yang butuh petunjuk google map, kitab suci, GPS dan sebagainya. Kalau kita, mau jalan ya jalan aja. Mantap, Tuhan beserta disetiap langkah kita.
Kita bangsa yang sudah sangat dekat dengan Tuhan, karena itu kita tidak butuh teriak-teriak apalagi pakai pengeras suara siang-malam untuk memuja-muji namaNya. Tuhan tidak butuh pujian. Dipuja atau tidak, Tuhan tetap maha tinggi. Kamu-kamu para manusia sok sucilah sesungguhnya yang butuh dan gila itu pujian.
Kita bangsa yang sudah dekat dengan Tuhan. Di tiap hembusan nafas dan detak nadi pun kita percaya Tuhan hadir. Disetiap apa yang kita lihat dan rasa Tuhan juga memberi petunjuk dan karunianya yang maha tidak terbatas. Sementara mereka percaya firman Tuhan hanya setebal kitab suci. Sementara kita tidak tahu kitab suci itu pernah di amandemen belum.
Katanya Tuhan maha besar/tidak terbatas, lha kok Tuhan cuma jadi setebal kitab? Sangat cerdas dan dalam spiritual Nusantara khan? Yang tidak pernah melahirkan seorang nabi Itu sesungguhnya. Karena sesuci dan sesempurna apa itu nabi, pada akhirnya yang ada hanya dogmatis. Stagnasi. Klaim kebenaran. Maka tidak usah heran, jika mereka tidak hanya dengan yang beda agama, bahkan masih satu agama, satu kitab dan satu nabipun pada saling berperang sendiri, saling bunuh-bunuhan. Karena merasa paling benar, suci dan sempurna senidiri. Merasa Tuhan ada di pihaknya. Padahal hanya ego tafsir mereka sendiri sebenarnya yang di puja.
Jika kita percaya Tuhan maha Besar, maka kita seharusnya sadar diri betapa kecil tiada artinya kita. Dan lihatlah, adakah kerendahan hati pada mereka yang suka mengagung-agungkan kitab suci itu?, yang tanpa sadar telah menggantikn Tuhan yang maha benar dan maha tahu dengan “kami yang paling tahu dan paling benar.”
Dan berabad-abad kita dididik untuk percaya bahwa nenek moyang kita terbelakang? Sebenarnya itu taktik bangsa lain agar gampang menguasai kita. Mendidik kita jadi bermental budak-bodoh, yang sudah takluk ketakutan hanya karena cerita terror Neraka sekaligus ngiler bangkitkan syahwat kebinatangannya hanya karena diiming-imingin kisah delusi Surgawi.
Ajaran spiritual Nusantara sudah mampu melampoi dualitas Surga dan Neraka. Kita saat ini tengah mengalami bukan hanya stagnasi, tapi dekandensi spiritual. Contoh mudah, candi Sukuh itu bukan hanya candi yang indah dan menakjubkan arsitekturnya. Tapi Lingga-Yoni yang ada disitu, selain mengandung perlambang seksualitas, menggegam pula haqiqat keutuhan Tuhan. Tapi apa kata generasi zaman ini tentang candi Sukuh? Mereka bilang itu candi porno!.
Manusia bermental budak ya akan seperti itu, hatinya kering, karena otaknya hanya kebanyakan diisi pasir. Suka memuja bangsa lain dan takut berdiri diatas kakinya sendiri. Tidak sadar, jika kita terlahir dan kelak akan mati juga berjalan sendiri-sendiri. Orang-orang bermental budak akan selalu bergerombol dan memuja keseragaman. Mereka tidak bisa melihat apalagi mensyukuri keanekaragaman sebagai berkah dan karunia Tuhan.
Mengidolakan seseorang itu tidak jelek. Tapi kalau saya lebih suka belajar untuk punya rasa percaya-diri. Karena kelak jika mati, kita juga harus berjalan sendiri. Katanya kita dicipta dari tanah, berdiri diatas tanah, hidup-makan dari tanah dan kelak juga akan kembali ke tanah. Maka hormatilah tanah leluhurmu. Warisilah sifat-sifat tanah yag mau menerima siapa saja apa adanya. Ndak usah ngomong tentang cerita langit, jika ndak bisa kau buktikan dikeseharian hidupmu.
Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang cerdas, percaya diri dan tidak inferior dihadapan bangsa lain. Kita punya DNA itu. Nenek moyang bangsa Nusantara adalah manusia-manusia berkwalitas seperti itu. Jadi sudah saatnya berpaling dari idiologi asing dan menoleh ke dalam, kembali ke tradisi sendiri yang sangat indah, kaya warna, penuh estetika etika, toleran, penuh penghormatan pada sesama dan alam semesta.
Dan dari mana semua budaya adiluhungnya itu bisa terlahir? Yaitu dari jalan spiritualnya, ilmu keTuhanannya yang tak pernah melahirkan seorang nabi. Karena nabi mematikan nalar. Karena nabi memberikan jarak antara kita dan Tuhan, seolah-olah hanya para elite agama saja yang hapal menguasai kitab yang kenal Tuhan. Padahal dikenyataannya, agama saat ini hanya sering jadi kedok/topeng untuk menutupi kebusukan, kerakusan dan keserakahan mereka-mereka saja. Seperti kata Imanuel ; Mereka tidak lebih dari kuburan yang di cat putih. Putih bersih memang luarnya, tapi bangkai-busuk isinya.
NS

Kamis, 30 April 2020

KESELAMATAN

Tujuan mutakhir (ultimate) dari kehidupan adalah ‘selamat’; selamat di dunia, dan selamat di “akhirat”.
Seluruh ajaran kehidupan, baik yang lahir sebagai bentuk agama, atau bentuk budaya lainnya, disadari atau tidak mengimplikasikan esensi keselamatan.
Dalam ajaran Nasrani, tujuan akhir adalah keselamatan melalui Juru Selamat, dan sapaan umum antar umat Nasrani adalah ‘Syalom’ (selamat); sama halnya dengan Muslim yang mengucapkan ‘Assalaamualaik
um’ (salaam=selamat).
Di kalangan muslim, bagian terakhir dari Shalat adalah mengucapkan Salam.
Bahkan dalam kehidupan sosial sehari-hari: selamat siang, pagi, malam; selamat makan, selamat tidur, selamat menempuh hidup baru dll; segala hal pada ujung-ujungnya diharapkan selamat. Di kalangan sunda juga wilujeng berarti ‘selamat’. Dalam bahasa lain, ‘good day’; ‘good night’ dll.; meski tidak secara harfiah berarti selamat, namun good berarti baik –implikasi pengharapan akan segala sesuatu berjalan lancar dan selamat.
Jadi ternyata tujuan hidup bukanlah ‘mencari sorga’. Sorga (dalam konteks umum-berupa suatu tempat yang mewah penuh dengan fasiltas yang memanjakan) keberadaannya sendiri masih kontroversial, ada yang percaya ada juga yang tidak percaya. Ketika kita masuk sorga (jika diasumsikan ada), kita masih bisa jatuh terpeleset, terkilir, dan lain-lain, di sorga; jadi masuk sorga juga belum tentu selamat. Itu sebabnya keselamatan lebih utama dari Sorga.
Lawan kata dari ‘selamat’ adalah ‘celaka’. Mengharap keselamatan artinya mengharapkan terhindar dari kecelakaan; baik kecelakaan di dunia maupun “kecelakaan di akhirat”.
DEFINISI SELAMAT
Selamat artinya adalah 'kembali ke asal' dengan keadaan yang minimal sebaik ketika kita pergi. Jika kita pergi jauh dari rumah, lalu setelah perjalanan usai, tiba kembali di rumah, ini namanya ‘selamat’; jika kita take-off menggunakan pesawat, ketika kita landing kembali ke tanah, ke asal, itulah ‘selamat’. Dalam konteks kehidupan, jika kita kembali ke asal kita, mulang, inilah hakikatnya selamat; dalam ajaran islam dilukiskan dengan: Inalillahi waina ilaihi rojiun; atau dalam istilah asing: from ashes to ashes, from dust to dust. Dengan kata lain ‘selamat’ adalah kembali ke semesta Hyang Tunggal.
Konsekuensinya, jika kita tidak kembali ke asal, artinya kita tidak selamat. TIdak kembali ke asal bisa jadi artinya adalah berakhir di tempat lain, atau tersesat sehingga tidak bisa kembali.
Jalan pulang ke Hyang Tunggal adalah melalui frekuensi channel ‘Welas Asih’ atau Kasih Sayang, ujung jalan ini akan menuju ke ‘keselamatan’. Karakterisitik dari jalan ini adalah terang benderang di sepanjang jalannya; penuh dengan ‘keTERANGan’ dan ‘pengeTAHUan’. Dengan berjalan di bawah terang,selain anda akan terterangi, anda juga akan memantulkan terang, sehingga anda akan juga menjadi petunjuk bagi yang lain yang mencari Jalan.
JALAN TERANG
Jalan yang terang indikasinya adalah: terhindar dari: fitnah dan sumpah serapah, depresi dan stress yang berkepanjangan , murka dan amarah, sakit dan penyakit yang kronis, luka dan cedera, serta kematian melalui penderitaan jasmani dan rohani.
JALAN GELAP
Jadi ketika anda sedang mencari Jalan keselamatan lalu anda menemukan bahwa jalan tersebut melalui kekerasan, perang, konflik, pelecehan, penyerangan, dll. Sudah pasti anda salah duga; jalan itu bukanlah jalan menuju keselamatan. Tak ada jalan keselamatan yang ditandai dengan kegelapan, kesedihan, dan angkara murka. Anda pastilah sedang tersesat.
Jalan tersebut adalah jalan kegelapan, dibawah supervisi raja kegelapan ‘the master of the darkness’, Ia dengan sistematis menciptakan banyak jalan palsu, jalan yang tidak hanya menyesatkan, namun juga melelahkan, karena jalan ini biasanya tak berujung, namun selalu buntu (deadlock), seperti perangkap.
Ketika anda berada di jalan ini, anda tak hanya tersesat, namun juga celaka. Seperti ketika anda berjalan di jalan gelap, anda bisa terpeleset, terjatuh, bahkan bisa dirampok atau dibunuh. Kuasa gelap sangatlah destruktif. Mental anda bisa direkayasa, DNA anda bisa di-otak-atik, dijadikan eksperimen dsb.
KESELAMATAN TIDAK TERGANTUNG KEYAKINAN MANA YANG DIPEGANG
Selamat atau tidak ketika anda mengendarai, tidak ditentukan oleh kendaraan apa yang anda gunakan, namun ditentukan oleh kewaspadaan, kehati-hatian, pengetahuan dan keterampilan anda mengendarai utamanya untuk mengenali rambu-rambu di jalanan, apapun ‘pegangan’ anda, apakah kendaraan merek A atau merek B.
Salah satu taktik “begal” untuk mensabotase perjalanan anda adalah dengan membiaskan pandangan bahwa tujuan kita berjalan adalah untuk memuja kendaraan, termasuk doktrin yang membodohi dan menyesatkan secara fatal bahwa ‘menyerang kendaraan lain yang tidak satu merek dapat membuat kita cepat sampai ke jalan keselamatan. Dengan kata lain, salah satu cara untku menuju jalan keselamatan adalah dengan cara membuat pihak lain tidak selamat (celaka), tidakkah hal ini adalah kebodohan yang sangat mendasar?.
RAMBU RAMBU DI JALAN KESELAMATAN
Tidak begitu sulit untuk mengenali rambu-rambu ini, sebetulnya rambu-rambu ini juga cukup jelas. Jika ada dua rambu kiri dan kanan, yang satu bertuliskan ‘marah’ yang satu bertuliskan ‘besar hati’; kita bisa pilih yang kedua. Jika ada ‘dendam, satu lagi ‘maafkan’, kita bisa pilih ke jalan ‘maafkan’, dan sebagainya. Rambu-rambu lainnya untuk menuju jalan selamat adalah: toleransi, derma, ikhlas, sabar, rendah hati, bantu, tolong dsb. Jangan pilih rambu-rambu yang ada tulisannya misal: dendam, iri, serang, tonjok, bakar, kafirkan, labeli murtad, hanya kami yang benar, anda tak seagamais kami dsb.
Semakin banyak anda memilih rambu yang salah, maka anda akan semakin tersesat dan makin sulit kembali, dan ketika jalan makin gelap, maka ada peribahasa, diculik genderuwo, atau dilebok jurig (dimakan hantu), dan anda akan dijadikan pekerja kegelapan, tanpa sadar karena mental anda sudah dimutasi, pada frekuensi yang tidak peka lagi terhadap cahaya kebenaran. Anda akan membawa lebih banyak lagi orang lain untuk tersesat bersama anda.
MENUJU KESELAMATAN
Cara menuju keselamatan adalah selalu berusaha eling di jalan, selalu fokus untuk pada rambu rambu, selalu konsentrasi untuk menyetel frekuensi kita selaras dengan frekuensi yang berasal dari broadcaster ‘Welas Asih’. Channel tersebut akan membimbing kita selalu berjalan menujunya, seperti sebuah GPS. Begitu kita lengah, pekerja kegelapan selalu siap menyasarkan kita ke jalan kegelapan.
Musim panen hampir tiba, buah ruh yang penuh dengan kasih, kegembiraan, kesabaran, kemurahan, kebaikan akan dijemput menuju tempat pulang dengan selamat. Namun jalan kegelapan akan menumbuhkan ilalang, yang pada musim panen biasanya akan dibakar dan dimusnahkan.
29 Apr 2011
Hendra Hendarin

Sabtu, 23 Maret 2019

SCHADENFREUDE (kejahatan bawah sadar)

Per definisinya, Schadenfreude adalah : perasaan puas / gembira bila melihat orang lain dalam kesusahan, kondisi yg tidak menguntungkan, atau berada dalam posisi lebih rendah darinya. Kata lain yang hampir mirip adalah Gloating, yaitu : bernyaman dalam kesuksesan dirinya di atas ketidakberuntungan orang lain dengan 'kebahagiaan'. Merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan karena 'pertolongan'nya.
Mungkin anda baru pertama kali ini mendengar istilah ini. Tapi hal inilah yang membuat orang baik melakukan kekerasan / kejahatan tanpa disadarinya. Sistim cultural, pendidikan dan pandangan kehidupan yang dangkal (tidak realistis) menyebabkan orang berlomba-lomba menjadi baik secara superficial (kulit permukaan), dan untuk menuju perasaan harga diri (self-esteem) nya tersebut, ia merepresi agresifitasnya yang kemudian muncul secara subliminal dalam tindakan-tindakan “politically correct” atau "religiously correct" yang menikam dan merusak pihak lain.
Ini hanya mungkin terjadi apabila manusia mengalami pendangakalan jiwa sehingga antara apa yang ada dalam kesadarannya (consciousnessnya) berbeda berbeda, terpecah bahkan bertolak-belakang dengan apa yang ada pada bawah sadarnya (sub-consciousness). Peran agama-agama politis dalam proses pendangkalan ini tidak dapat dipungkiri. Hal inilah yang menyebabkan kekerasan demi kekerasan selama ribuan terakhir ini. Dimana manusia berusaha memperbaiki system kehidupannya melalui budaya, system politis dan sains/teknologi, tetapi selalu hanya sedalam apa yang tampak / kasat mata belaka. Apa yang tidak tampak (tersembunyi di dalam) tetap busuk , agresif dan jahat.
Usaha-usaha menutupi kebusukan, keagresifan dan kejahatan itu dengan bungkusan yang baik dan indah, itulah per definisi adalah motif dari penciptaan Simulacra. Dimana tujuan akhirnya adalah penguasaan penuh dan eksploitasi bagi manusia satu di atas yang lainnya melalui system yang “dipermuliakan” sedemikian rupa untuk dipuja-puja, sehingga yang melanggarnya dianggap secara social maupun politis layak untuk dihakimi dan dihukum. Segala sesuatu yang real di’bunuh’ untuk digantikan dengan jargon-jargon indah atas nama moral/akhlak, ketertiban, keadilan, efisiensi, efektifitas, disiplin, hukum bahkan atas nama Tuhan! Inilah yang menjadi penyebab kanker kehidupan dunia yang mencapai masa kritis pada abad ke-21 ini. Manusia tidak bisa menghindar lagi, atau punah melalui suatu cara yang sangat mengerikan.
Bila kitab-kitab kuno agama menuliskan deskripsi akhir jaman, inilah persoalannya. Hanya saja mereka menyebut kejahatan itu dengan istilah ‘iblis’ atau ‘syaiton’ padahal sebenarnya adalah bawah-sadar manusia yang egois dan semakin membusuk dalam segala kepalsuannya. Tidak heran bila lingkup efeknya meluas dan mendalam ke segala aspek kehidupan. Lihat saja dari persoalan ketimpangan system moneter hingga persoalan LGBT yg meruak akhir-akhir ini. Semua persoalan dan ‘penyakit sosial’ itu bukan muncul tiba-tiba dari langit, tetapi merupakan akibat dari proses pembusukan kesadaran manusia selama ribuan tahun : diluar terlihat baik, tapi jahat di dalamnya; 
dari luar tampak mengulurkan pertolongan, tapi menghisap diam-diam;
tangan kanan membelai-belai, tapi tangan kiri menikam dari belakang;
Lidah ular bercabang dua; madu tapi racun.
Inilah yang selama berabad-abad dicoba untuk diutarakan kepada public oleh tokoh-tokoh seperti J.Krishnamurti, Ki Ageng Surya Mataram, dsb. Mereka pada dasarnya menggugat kemajuan peradaban yg dialami manusia : bahwa dibalik apa yang disebut perbaikan / kemajuan sebetulnya secara psikologis kejiwaan manusia tetap biadab, agresif, manipulative, eksploitative, dsb. Tidak lain adalah dikarenakan Schadenfreude / Gloating seperti disinggung diatas : manusia berlomba-lomba berbuat ‘kebaikan’ dengan cara menindas yang lainnya; berebut berbuat ‘pahala’ dengan cara saling menjatuhkan. Karena melalui 'kebaikan' ia mendapat keuntungan status dalam persaingan sosial; tapi bagaimana kalau sistem sosial itu adalah sistem sosial yang korup (manipulatif)?
Oleh karena itu sudah sangat jelas, mengapa agama-agama politis itu begitu menentang kedalaman spiritual, penyelidikan batin dan hal-hal yang berbau meditative. Karena melalui penyibakan hal-hal yang disembunyikan di dalam batin manusia itu akan dapat ditemukan berbagai macam kebusukan yang merupakan akar dari semua ‘kebajikan’ yang menindas umat manusia selama ribuan tahun.
Mengapa bisa demikian?
Tidak lain tidak bukan karena manusia dididik hanya melalui dogma-dogma dan serangkaian permainan antara iming-iming (harapan) dan ancaman (penakut-nakutan). Dalam agama-agama tertentu, neurosis (kecemasan) manusia terhadap kehidupan dan kematian tidaklah diselesaikan, tetapi justru dipakai untuk memperalat dan mengikat umatnya sendiri. Tentu saja neurosis itu tidak ditampakan di permukaan karena tidak menguntungkan secara marketing, tetapi neurosis yang terepresi ke dalam bawah sadar itu menjadi sebuah daya besar yang sungguh jahat merembes keluar melalui ‘kebaikan-kebaikan’ dan segala macam alasan yang politically-correct atau religiously correct.
Kalau diatas sudah saya katakan bahwa Schadenfreude / Gloating ini adalah merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan, sebenarnya inilah esensi dari apa yang disebut NWO (New World Order), yaitu : melalui lengan2 gurita kekuasaannya kaum elite penguasa dunia hendak "mengatur" dunia untuk menuju "ketertiban" versi dirinya dengan menggunakan segala macam perangkat sistem, keorganisasian maupun teknologi sehingga 'mengatur' dan 'mengawasi' setiap langkah gerak-gerik manusia dalam sistem komputerisasi-biometric. Ini namanya adalah pembunuhan hak asasi dan kebebasan manusia.
Perhatikan bahwa Tuhan memberikan ruang gerak yang lapang kepada manusia untuk berproses dan memahami hidup melalui kesalahan-kesalahannya; tetapi rupanya manusia ingin 'playing GOD' dimana tidak memberi ruang kepada sesamanya untuk mengeksplorasi kehidupan menurut panggilan hidupnya sendiri.
Bukankah ini yang disebut anti-christ?? Karena yang disebut Kristus adalah membebaskan manusia; tapi disini mereka hendak mengikat tangan dan kaki manusia melalui sistem/hukum. Sekalipun dengan technological-tyranny mungkin hasilnya adalah ketertiban secara fisik yg tampak dikulit permukaan, tetapi apakah cara ini akan mendewasakan dan memerdekakan jiwa manusia?
Oleh karena itu saudara……kalau ada yang mengatakan bahwa ini adalah akhir jaman, saya percaya bahwa memang ini adalah akhir dari sebuah jaman. Mudah-mudahan tidak sampai kebablasan bumi ini hancur lebur karena ulah manusia sendiri, tetapi berakhirnya kekerasan di dalam bawah sadarnya. Inilah yang –semenjak dulu – saya artikan sebagai kedatangan Messiah. Yang mana bukanlah sesuatu yang secara karikatural digambarkan sebagai tokoh hero yang turun dari langit, melainkan turunnya Kesadaran (Awareness) untuk mentransformasi bawah-sadar-yang-jahat itu menjadi baik sejati. Tentu untuk menuju kesana, tidak bisa tidak manusia harus mulai menyelidiki batinnya. Dan itu artinya adalah melalui pengembangan suatu sikap kontemplatif / meditative.
Menurut saya, kedatangan Sang Juru Selamat / Messiah / Imam Mahdi, dsb pada dasarnya adalah suatu harapan manusia akan kedatangan suatu Kesadaran Baru yang mampu mengalahkan kejahatan yang selama ini bekerja menjungkir-balikan dunia secara subversif (tersembunyi) dalam bawah-sadar manusia. Manusia akan menemukan kedatanganNya bila mencari dan melihat ke dalam ruang batinnya sendiri yang terdalam.
Dan apabila setiap insan manusia berhasil menyambutNya di dalam ruang batinnya yang terdalam, maka sebetulnya manusia akan kembali menjadi satu tubuh. Karena Dia ada dimana-mana. Dia adalah akar / pokok anggur itu. Dengan demikian, maka dunia akan menjadi tertib tanpa harus diternakkan oleh suatu sistem monolateral yang tiran. Itulah yang disebut Higher Order (ketertiban luhur) atau New Jerusalem dimana dikatakan oleh Nabi Yesaya dimana singa akan berbaring bersama anak domba dst (masih ingat apa arti Jeru-salem spt yg pernah saya bahas di artikel yg lalu? ya, Jerusalem bermakna Wholeness / eksistensi yang utuh. Bukan nama kota fisik di atas bumi ini, tapi "kota" rohaniah yang datang dari "atas" kesadaran).
Rahayu!
Danz Suchamda

Rabu, 10 Januari 2018

MEMAHAMI POHON KEHIDUPAN DAN POHON KEMATIAN

Kalau konflik itu bukan diakari oleh sentimen dan kepercayaan agama, maka tidak mungkin menjadi begitu kompleks dan berlarut-larut seperti ini.
Karena alasan bahwa itu sengketa tanah / wilayah , adalah sebuah kedustaan atau penutupan belaka dari hal yang sebenarnya, yaitu : memusnahkan yahudi seperti diperintahkan dalam al quran. Dan utk itu maka segala macam penghalalan cara digunakan, gali dusta tutup dusta tak berkesudahan.
Seandainya pihak-pihak adalah berpijak pada kejujuran dan fakta, maka rekonsiliasi sebetulnya bukan hal yg sulit. Tapi justru tepat pada faktor inilah sebagai sebuah hal yg tidak pernah terjadi. Dusta demi dusta diluncurkan untuk menghasut dan merekrut lebih banyak orang dari daerah lain, sehingga akhirnya konflik meluas menjadi issue dunia.
Bisa menyanggah pernyataan ini dengan argumen dan bukan dengan hasutan / tuduhan / caci maki?
Wong Pethok : Sebenarnya setiap manusia itu bisa menilai mana yg baik dan mana yg buruk, asalkan mau mengosongkan diri/ netral/ tdk berpihak barulah bisa menilai dg benar, tdk mendahulukan ego.
Yohanes Johan Cahyadi : *tetap sadar diri untuk tetap menjadi penonton, dan bukan bidak catur....
Kristian Hartino : persoalan beragama di bumi ini bukan siapa yg mulai duluan bikin keonaran/chaos di bumi. Chaos (Iblis dan pekerjaannya) sudah ada sejak manusia belum berdosa.
Jadi persoalannya mengapa manusia mau diajak chaos oleh Sang Chaos (Iblis). Hingga kini, ya persoalannya itu2 aja. Semakin kita berbuat mencari manusia/bangsa/agama penyebab chaos lalu membela agama sendiri (bukan Tuhan).. maka diri kita semakin masuk ke dalam pusaran chaos yg dikerjakan Sang Penuduh.

Danz Suchamda : 
Bisakah anda melihat pola iblis ini (ingatlah lagi kisah tentang bagaimana kejatuhan malaikat yg kemudian disebut iblis itu) :

SEMAKIN INGIN MENJADI BENAR, AKAN SEMAKIN JAUH DARI KEBENARAN TUHAN.
Karena malaikat itu jatuh karena ingin dibenarkan.
Maka jangan pikir asal modal INGIN benar atau MERASA benar lalu serta merta sudah benar di hadapan Tuhan.
Jadi jelas bahwa langkah menuju Tuhan adalah dengan memakan buah Pohon Kehidupan....alias memahami realitas/ kasunyatan.....ngerti sangkan paraning dumadi. Dan itu artinya adalah gemblengan melalui proses matangnya buah Pohon Kehidupan itu sendiri. Yang mana artinya adalah melalui proses naik dan turun, salah dan benar, jatuh dan bangun, keliru dan mengoreksi diri.
Oleh karena itu, langkah menuju Tuhan melalui koreksi diri sudah jelas ada di semua agama-agama , yaitu :
1. Menyelidiki segala hal ihwalnya dengan seksama dan jujur. Dengan cara komunikasi, menyimak dan understanding (pengertian).
Anda boleh mendebat, tidak setuju, dan mempertanyakan segala sesuatunya........tapi itu berbeda dengan menghasut, mengingkari, memutar-balik, berdusta atau caci maki mengancam-ancam.
2. Mengakui kesalahan
3. Melihat dan memahami kesalahannya dimana yang dipandu oleh pengertian benar.
4. Menyesal
5. Mengubah sikap

Apakah anda punya konsep pertobatan versi lain yang berseberangan dengan 5 point di atas wahai saudaraku umat agama-agama, khususnya muslim?
Kalau iya, katakanlah.

Inilah kasunyatan yang saya ajak saudara2 semua untuk menyelami lebih mendalam, karena sifatnya yang sangat halus dan elusive (apa bhs indonya?).....'tidak dapat digenggam"?
Hidup itu mengalir, sedangkan mati itu diam kaku.
Maka kalau saudara menggenggam 'kebenaran' sebetulnya sudah menuju kematian. Karena hanya sesuatu yang mati yg dapat anda genggam semaunya. Karena barangsiapa ingin menuju Hidup, ia harus menemukan Pohon Kehidupan, yang artinya adalah segala fenomena perubahan, pertumbuhan, percabangan, mekar dan berbuahnya realitas ini. Itulah yg disebut DHARMA. Sedangkan bila mengingkari realitas, menggenggam yang mati / beku karena ego ingin demikian, maka disebut Adharma.

Wong Pethok : //Jgan menjudge org lain kafir, syirik dan masuk neraka krn tdk seagama. Dg begitu yg menghukumi tdk sadar klo dirinya sudah mendua, syirik, krn itu sebenarnya adalah hak Allah.//
Danz Suchamda : 
Betul !
Manakala berpikir bahwa ada pihak lain selain dari Tuhan yang menciptakan fenomena kafir, syirik dsb...senyatanya dia TELAH MENDUAKAN TUHAN. Berpikir bahwa ada pihak lain sebagai sumber hal-hal itu. Padahal, hanya Tuhanlah sumber dari segala sesuatu fenomena yang ada , pernah ada dan akan ada di semesta ini.

Jadi.......kalau tidak terima 'tanah' itu saat ini dihuni oleh orang Yahudi. .......silakan lawanlah Tuhan yang mengizinkan hal itu terjadi.
Kalau anda hendak memusnahkan suatu kaum atau bangsa di dunia ini yang mengada atas ciptaan Tuhan.......silakan lawanlah Tuhan yang menciptakan mereka.
Kalian mampu melawan dengan apa?......... tidak lain tidak bukan hanya dengan dusta demi dusta untuk menciptakan "realitas yang lain".
Selamat! Anda sudah berdiri di seberang realitas.
Tahu kan istilah khusus yg digunakan untuk merujuk pada "Pihak di Seberang Realitas" (The Other Side / Sitra Achra)?
Baca saja tulisan2 saya sebelum ini, maka anda akan jelas.

Tolong diperhatikan....saya bukan mau mengubah agama anda. Tapi saya hanya hendak menyadarkan mereka yang mampu sadar. Dan saya tahu , jumlahnya tidak banyak.
Karena sudah pasti tetap harus digenapi apa yang sudah dinubuatkan dalam Kitab-kitab para Nabi.....bahwa harus ada pasukan dajjal yang akan berusaha melawan Tuhan. Yang menimbulkan peperangan, dan kekacauan di atas muka bumi ini pada akhir jaman.
Oleh karena itu, ini hanyalah sekedar wacana pertimbangan belaka bagi anda untuk membuat pilihan. Ingat, sekedar wacana membuka wawasan. Tapi untuk selanjutnya terserah anda.
Saya tidak peduli apa pun pilihan anda. Karena itu bukan urusanku, manusia, tapi urusanmu sendiri dengan Tuhan Sang Pemilik Realitas.

Maaf, mohon jangan keliru mengartikan ini secara negatif. Bukankah sebagai saudara sebangsa yang memiliki itikad baik kepada saudaranya harus saling ingat mengingatkan supaya saudaranya tidak terjatuh dalam kesengsaraan?
Semoga anda tidak membuat pilihan yang keliru.

Rahayu! 


Source : Danz Suchamda

Rabu, 20 Desember 2017

MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA

Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan adat dan kebudayaan yang bernilai tinggi. Di jaman Mataram Kuno, sekitar tahun 750M bangsa kita telah mampu membuat maha karya dunia semacam Candi Borobudur, dimana dimasa-masa ini pasukan Islam sedang berusaha menjajah Bizantium. Bahkan di jaman Majapahit, wilayah Nusantara meluas hingga mencakup sebagian selat Malaka. Namun kebesaran Nusantara perlahan terkikis dengan hancurnya kerajaan Hindu Budha ini.
Sejarah mencatat bahwa hancurnya Majapahit adalah akibat pengaruh agresi kerajaan Islam Demak. Tak banyak jejak untuk melacak bagaimana sejarah penghancuran Budha Nusantara oleh Islam. Tak banyak pula informasi sejarah mengenai kapan dan bagaimana masuknya Islam ke bumi Nusantara ini. Kehancuran Majapahit, serta perebutan kekuasaan antar para wali setelah runtuhnya Majapahit, menyebabkan penjelajah Eropa dengan mudah memonopoli pasar rempah di Indonesia.
Menurut para intelektual Islam, terdapat 3 teori mengenai asal muasal datangnya Islam ke Indonesia. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Teori ketiga, adalah Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah pada abad ke-12 atau 13.
Menurut para pakar, Islam masuk Indonesia secara DAMAI, bukan dengan peperangan. Islam masuk melalui para pedagang dan pendakwah Arab yang bermigrasi ke bumi Indonesia. Benarkah demikian?
Saat ini team kami sedang melakukan riset untuk menggali sejarah penyebaran Islam, dan kemunduran Budhisme di Indonesia. Namun sebelum itu marilah kita melihat beberapa tulisan kuno yang mungkin bisa sedikit membuka mata kita mengenai penyebab kemunduran agama Budha, dan upaya2 para wali untuk menyebarkan Islam di Indonesia.
Terdapat tulisan sejarah yang sedikit membuka mata kita mengenai seperti apa sesungguhnya cara Islam masuk ke Indonesia. Teks sejarah ini bernama DARMOGANDHUL. Tulisan ini adalah karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi (nama samaran, kemungkinan besar adalah Ronggo Warsito), waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.
Kita tentu saja tidak dapat mempercayai keakuratan sejarah DARMAGANDHUL 100%, tapi bagaimanapun juga isi suluk ini mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Namun kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan berkedokkan agama.
Berikut ringkasan dari Darmo Gandul
Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam. Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab:
"Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Pada zaman dulu Majapahit (1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan. Prabu Brawijaya V adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad ( Sunan Ampel ). Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak ulama Arab kemudian datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat ( Sunan Bonang ) namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam. Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim Putri Campa. Sejak kecil Raden Patah telah dididik secara Islam. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein / Raden Arya Pecattanda ).
Sang Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib. Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah.
Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha . Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.
Kata Sunan Bonang, " Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Kutukan Sunan Bonang terhadap Seorang Wanita
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. " Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu. Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar :
"Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan. Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar. Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.
Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin ( Nyi Loro Kidul ). Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu. Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka.
Tubuhnya bagaikan api Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.
Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah karena tidak jelas agamanya. Sunan Bonang berkata;
"Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kuminai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang.
“Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.”
(Lihat peristiwa Muhammad menyuruh pengikutnya menyerang suku Yahudi di Medinah, Bani Qaynuqa, gara2 seorang wanita Muslim diganggu oleh seseorang anggota Bani Qaynuqa. Ini dipakai Muhammad sebagai alasan untuk menyerang dan mengusir Bani Qaynuqa dari tanah nenek moyang mereka itu. Sifat Muhammad ini dicontoh Sunan Bonang : cepat naik darah, tidak seimbang, tidak memiliki maaf, sombong, selain licik dan haus kekuasaan.)
Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul :
" Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian. Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.”
Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang2 baik budi bila tetap berbuat demikian. Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia Hindu. Suka membuat sulit air.
Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu ?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon agar dikembalikan. Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata,
" Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
" Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
Sunan Bonang menjawab:
" Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur. Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal. Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
" Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.”
Sunan Bonang pun berkata,
" Kau ini bangsa jin. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya jin yang sombong.”
Kata Buta Locaya,
" Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Jin,"
Sunan Bonang berkata,
“Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.”
Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba. Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling." Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi.
"Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?"
Sunan Bonang :
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."
Kata Buta Locaya,
"Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang Khilaf. Buta Locaya berkata,
" Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ? Mendapat wahyu agar pandai dan cermat penglihatannya. Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. TUAN BERPEDOMAN KITAB, ORANG JAWA PUN BERBEDOMAN PETUAH DARI PARA LELUHURNYA. SAMA2 MENGHARGAI KABAR, LEBIH BAIK MENGHARGAI KABAR DARI LELUHUR SENDIRI DENGAN PENINGGALAN YANG MASIH BISA DISAKSIKAN.
Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang ? Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid hamba."
Sunan Bonang :
" Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
Buta Locaya berkata,
" Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba. Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan, MENENTANG ADAT, MENENTANG AGAMA, MERUSAK KEBAIKAN, MENGGANGGU AGAMA LELUHUR. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata :
" Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
Buta Locaya berkata,
" Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air."
PEMBUNUHAN SYECH SITI JENAR
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh.
Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Prabu Brawijaya di Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak (putera PB alias Raden Patah) dan mengajak menyerbu ke Majalengka.
Kata Sunan Bonang (Muslim tulen yg penuh akal bulus itu),
"Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus. Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."
(Baca cerita2 Modus Operandi Jihad Islam diseluruh dunia Inilah cara Muslim mengakali musuh mereka : dengan cara tipu daya.)
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang.
" Saya takut merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun kafir."
Mendengar jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
" Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga. Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku, Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam. Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."
Kemudian, Sunan Giri (juga seorang Muslim tulen yang penuh dengan akal bulus) menyambung,
" Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka. Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan anjing. Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga. Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."
Jawab sang Adipati Demak,
" Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging. Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pelindung-pelindungmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pelindung-pelindungmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS 9:24)
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena kafir.
Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila semua setuju akan segera dimulai. Semua setuju dan para bupati pun setuju.
Hanya Syech Siti Jenar yang tidak setuju. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
(Satu lagi tindakan Islami para Sunan yang mencontoh kelakuan nabi! Bunuh mereka yg tidak sepaham denganmu, karena itu dianggap melawan nabi dan melawan Islam)
Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senopati Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
PERANG BUDHA MAJAPAHIT VS ISLAM DEMAK
Alkisah, sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penaklukan terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal.
Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat terkenal (Menak Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.
Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu.
Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan para ulama serta bupati tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyebarkan agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.
" Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan."
Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja telah lanjut usia.
Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.
Setelah memerintahkan demikian, sang Prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong. Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.
Wadya Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.
Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi raganya musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”
Setewasnya Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.
NASEHAT NYAI AGENG KEPADA RADEN PATAH
Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jambuningrat (Raden Patah) sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.
Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”
Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”
Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.
Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.
Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.
Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?
Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”
Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok dituruti perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”
Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”
Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
PRABU JIMBUN (RADEN PATAH) KEMBALI KE DEMAK
Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah.
Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang.
Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya. Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.
Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. (masak sih??) Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patihnya, karena tidak mau pindah agama Islam.
Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.
Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu Brawijaya diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah ke agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa. (Benar2 Sunan yang tau berbalas budi, persis seperti nabinya)
Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi. (Masak Islam mau tenung Budha, ga mampu lah)
Referensi Selanjutnya klik Disini

Sumber : http://primordialnature.blogspot.co.id/2017/12/masuknya-islam-ke-indonesia.html?m=1

Simulacra & Perversion

  Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...