Kamis, 21 Januari 2016

.::SING ONO IKU UDU::.

"Dimana bumi dipijak disanalah kita perlu menjunjung
langitnya Nak"
Kami tertarik dengan semua ritual yang ada, kami
menikmati setiap doa, persembahan juga gerakan ibadah
didalamnya.
Disisi lain kami tidak tertarik omongan orang yang
menyindir dan mencibir, kami yakin apa yang kami cari
bukan berada di rumah ibadah melainkan bersemayam di
dalam keheningan jiwa yang suci ini.
"Engkau boleh bersujud dihadapan Patung, Salib atau
Kaabah, namun sadarilah bukan badanmu tapi dalam
kerendahan hatilah Ia menampakan diriNya". G Vashdev

.::KHALIL GIBRAN (1883 - 1931)::.

Kahlil Gibran (1883-1931)
kahlil Gibran terlahir dengan nama Gibran Khalil
Gibran di Beshari, Lebanon pada 1883. Pada usia
12 tahun ia berimigrasi ke Amerika bersama ibu
dan kedua adik perempuannya. Di sanalah, secara
tak sengaja namanya berubah menjadi Kahlil
Gibran akibat pencatatan yang salah oleh pihak
administrasi sekolah pertama yang
diikutinya.Sempat kembali ke tanah kelahirannya
selama tiga tahun untuk memperdalam bahasa
Arab, Kahlil Gibran menghabiskan masa remaja
bersama seniman bohemian di Boston. Ia juga
pernah tinggal di Paris selama setahun untuk
berguru seni rupa pada beberapa seniman di
Prancis. Pulang dari Paris ia pindah ke New York
dan menetap di kota ini sampai akhir hayat.
Tulisan-tulisan Gibran dikenal luas karena cita
rasa orientalnya yang eksotis, bahkan mistis.
Dianggap sebagai penyair Arab di perantauan
terbesar, Kahlil Gibran meninggal di New York
pada 1931. Ratusan pendeta dan para pemimpin
agama, yang mewakili setiap aliran di bawah
langit Timur, tertunduk khidmat dalam acara
pemakaman itu. Mereka berasal dari Kristen
Maronit, Protestan, Islam Syiah dan Sunni,
Gereja Yunani Kuno, Yahudi, Druz, dan lain-lain.
Kahlil Gibran dikuburkan di Beshari, Lebanon,
tempat dia menjalani masa kanak-kanaknya.
Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883
di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan
daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta
petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran
sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena
alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak
mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.
Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik
perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika
Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil
mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak
dialami oleh para imigran lain yang berhamburan
datang ke Amerika Serikat pada akhir abad
ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum
di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka
bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak
kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi
Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun
karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana
dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of
Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah
kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk.
Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi
gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang
sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara
pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam
karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia
berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah
bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi
inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang
negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini
yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk
menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang
berbeda menjadi satu.
Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari
tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya
menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits
Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di
New York, yang berisi empat cerita kontemporer
sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang
korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima
hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite.
Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-
tiba dianggap sebagai harapan dan suara
pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris
cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari
Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi
telah menghancurkan keluarganya. Adik
perempuannya yang paling muda berumur 15
tahun, Sultana, meninggal karena TBC.
Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya,
Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan
hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal
karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya,
Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor
ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih
tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan
kemiskinan keluarganya. Kematian anggota
keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi
antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran
dan adiknya lantas harus menyangga sebuah
keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha
keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua,
Marianna membiayai penerbitan karya-karya
Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil
menjahit di Miss Teahan’s Gowns. Berkat kerja
keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan
karier keseniman dan kesasteraannya yang masih
awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di
sini dia hidup senang karena secara rutin
menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang
wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih
tua namun dikenal memiliki hubungan khusus
dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari
tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of
Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke
Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West
Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga
mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New
York. Di New York Gibran bekerja di apartemen
studionya di 51 West Tenth Street, sebuah
bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia
melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah
diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita
tentang cinta Selma Karami kepada seorang
muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi
tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya
menikah dengan suami yang merupakan seorang
uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering
dianggap sebagai otobiografinya.
Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di
dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya
wanita-wanita Arab yang dinomorduakan
mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa
mereka adalah istri yang memiliki hak untuk
memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam
perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini
dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami
banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya.
Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus
menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya
dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika
terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi
seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah
bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.
Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai
dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis
Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia
Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini
sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran
memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan
Barat.
Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap
meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa
Inggris, “The Madman”, “His Parables and
Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary
tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The
Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris
adalah “Twenty Drawing”, 1919; “The
Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun
1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar
dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan
sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis
dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan
dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis
ulang dalam bahasa Inggris pada tahun
1918-1922.
Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat
antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary
dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya
dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah
kehidupan mewah dan mendesaknya agar
melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau
hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai
dengan berbagai pertimbangan dan diskusi
mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun
pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini
banyak yang berbeda dengan Gibran.
Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan
dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan
perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam
hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima
Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah
asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah
Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini
merombak kesusastraan Arab yang stagnan.
Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki
banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara
Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca
“Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan
pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi
guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di
New York, Barbara Young ikut aktif dalam
kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun
1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun
1928. Ia juga membacakan naskah drama
tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari
1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The
Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang
lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di
tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun
1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang
lain “The Garden of the Propeth”.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam,
Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah
lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama
ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada
pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St.
Vincent’s Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke
Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian
penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya
yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap
menyempatkan diri untuk melayat Gibran.
Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21
Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di
mana Gibran pernah melakukan ibadah.
Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang
mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah
peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang
bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit
keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia
telah banyak sekali membantuku.”

.::BURUNG HANTU SIMBOL KEBIJAKSANAAN::.

Burung hantu sering kali di cap jelek, mungkin karena
namanya, namun kalau kita mau mencari ke belakang
kita akan menemukan hal yang sebaliknya.
di barat burung hantu adalah simbol dari kebijaksanaan
Nasib yang hampir sama yang di alami oleh ular yang
telah dikonotasikan negatif namun seperti kita tahu ular
yang digunakan oleh semua simbol Apotik adalah simbol
dari keselarasan kehidupan dengan bumi.
yang paling berbeda dari burung hantu ini adalah
matanya, biasanya mata dari burung ada di samping
sementara burung hantu sama seperti manusia, keduanya
menghadap kedepan.
Ketika memperhatikan sambil merenungi sejenak, saya
tertegun bagaimana burung ini memperhatikan saya dan
segalanya dengan tenang bahkan tanpa ekspresi.
Mungkin inilah mengapa simbol kebijaksanaan dilekatkan
padanya.
Para Guru meditasi dimanapun meminta kita untuk
melatih diri kita untuk melihat tanpa menyertakan
penghakiman atau dengan istila lain menjadi saksi bisu.
bisu disini bukanlah tidak berkata saja namun tanpa
memberikan analisa baik dan buruk pada apa yang lewat
dalam di lalulintas kehidupan ini.
Dalam arti lain melewati gerbang dualitas, dalam
kesadaran ini ia melihat Tuhan dalam orang baik, ia pun
melihat Tuhan yang sama pada orang jahat.
inilah yang mungkin disebut oleh Khalil Gibran bahwa
orang tersebut telah mencapai inti kehidupan.
"Bila kamu mencapai inti kehidupan, kamu akan
mendapati dirimu tidak lebih tinggi dari bajingan, dan
tidak lebih rendah dari nabi." Kahlil gibran

.::TUHAN::.

"Di India di sebut dengan Ribuan Nama, di
Arab dengan 99 Nama, berapapun jumlahnya, sekeras
apapun kita memanggilnya, Ia yang esa hanya bersemi
dalam keheningan sempurna." G. Vashdev

..::TELOR MATA SAPI & PELECEHAN AGAMA::..

Dini hari pukul 3 aku dibangunkan oleh tawaku sendiri
karena mimpi lucu yang kutonton.
Ada orang India memesan makanan di restoran
Indonesia, lalu ia bertanya tentang telor yang
dihidangkan.
Pelayan menjawab itu telor mata sapi.
Dengan nada tinggi ia memaki-maki sang pelayan, ia
merasa tidak dihormati, agamanya dilecehkan.
Walaupun pelayan tersebut sudah menjelaskan bahwa itu
hanya namanya saja sementara kandungannya adalah
100% telur ayam, tetap aja dia marah.
Bayangan saya melayang beberapa tahun lalu ketika
mengajak beberapa orang sahabat ke resto vegetarian.
Salah seseorang tidak mau menyentuh makanan yang
bernama siobak.
Walaupun nama siobak identik dengan masakan yang
berdaging babi namun masakan yang terhidang di
depannya terbuat dari jamur dan kedelai.
Yang lain sudah berulang kali menjelaskan bahwa semua
makanan di resto vegetarian selalu halal, karena tidak
mengandung bahan yg berasal dari hewan apapun, dan
semua nama itu hanya untuk memudahkan mereka
mengasosiasi dengan makanan non vegetarian yang
popular disekitar.
Ia tetap mendebat dan tidak menyentuhnya.
Babinya tidak pernah ada, mata sapinya entah dimana,
namun kemarahan dan perdebatan sudah mengudara
Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa dalam
keseharian hidup kita lebih banyak terfokus pada
pantulan luar dibanding padatnya isi di dalam.
Kita meributkan nama dan simbol dan menelantarkan
esensi dan inti.
Perhatikan diskusi-diskusi yang kita lakukan, apakah
masih bergelut pada perbedaan atau sudah menggali dan
berjumpa persamaan.
Jangankan agama yang jumlahnya hanya beberapa ratus,
perbedaan bentuk mata manusia mungkin sebanyak
jumlah penduduk bumi ini, namun bila kita mau melihat
lebih dalam, kita akan menemukan struktur yang sama
satu dengan lainnya.
Cara menyembah bisa berbeda, bagaimana berucap dalam
doa bisa berlainan, namun semua itu tak sepenting hati
yang berserah.
Seperti di India Tuhan di sebut dengan Ribuan Nama, di
Arab dengan 99 Nama, berapapun jumlahnya, sekeras
apapun kita memanggilnya, Ia yang esa hanya bersemi
dalam keheningan sempurna. #Gobind V
salam plur

.::KALAU PUNYA MASALAH, JANGAN CARI JALAN KELUAR::..

Ribuan kali, ribuan orang berbeda bertanya "bagaimana
caranya?" tatkala saya mengatakan masalah manusia
hanya ada di dalam dirinya dan satu-satunya cara untuk
menyelesaikannya bukanlah mencari jalan keluar tapi
jalan ke dalam.
Hari ini saya akan berbagi contoh kasus yang sedang
saya alami saat ini.
Beberapa hari terakhir ini hampir semua bagian kulit
tubuh ini sering merasa gatal.
Karena saya sedang di ubud, maka kecurigaan alergi
makanan bisa dinihilkan, sementara sebab luar seperti
nyamuk atau tungau selama ini tidak begitu menikmati
darah dan kulit saya.
Pikiran saya langsung ikut menduga ulat bulu yang
katanya orang sekitar memang sedang banyak-banyaknya
disini.
Reflek tanpa sadar saya melakukan garukan yang
membuat luka kecil di beberapa tempat termasuk wajah
yang saya duga tergaruk sewaktu tidur oleh kuku yang
belum dipangkas.
Normalnya bila merasa ada masalah mulailah kita
mencari solusi, dan reaksi sebagian besar dari kita
adalah segera 'membereskannya'. Dalam hal ini yang
biasa dilakukan mensterilkan rumah sambil memberikan
saleb pada luka. Keduanya biasanya berbahan kimia.
Kalau penyebab gatal sudah hilang dan luka sudah
sembuh maka misi sudah dianggap selesai, inilah yang
sering disebut masalah sudah beres.
Bagaimana dengan sikap kita di dalam?
Apa emosi di dalam yang menggerakkan kita untuk
membereskan masalah? apakah emosi itu juga sudah
beres?.
Dalam meditasi pagi tadi saya melihat sekaligus me re-
view apa yang terjadi di bathin saya.
Awalnya saya menyadari ada sikap menyalahkan yang
muncul, seperti "gara-gara ulat bulu nih, saya jadi
begini"
Setelah melihatnya lebih dalam, benderanglah bahwa
sikap menyalahkan berasal dari kemarahan saya.
Dan kemarahan apapun tidak pernah disebabkan oleh
aspek diluar diri ini.
Kemarahan saya berasal dari ketidakmampuan saya
untuk menahan keinginan untuk menggaruk tempat yang
gatal, maka terjadilah luka.
Ego saya tidak mau disebut tidak mampu maka ia mulai
mengeluarkan alasan yang menyalahkan pihak luar.
"Kalau tidak ada ulat bulu kan tidak mungkin ini
terjadi" kurang lebih begitulah bunyinya.
Cermati kemarahan-kemarahan lain, seperti orangtua
yang marah pada perilaku anak. Semua berawal dari
ketidakmampuan orangtua mengontrol sang anak. Dengan
kata lain karena ortu sudah mempunyai standart baik
dan buruk dan ia ingin anaknya terbentuk sesuai
standart baiknya, maka ia mencoba mengaturnya. Ortu
tersebut melekat kuat pada keinginannya (baca: egonya)
Karena kalau perilaku anak seperti yang dia inginkan,
maka lingkungan akan menilai dia adalah orangtua yang
hebat, dan bila pujian ini terjadi, ego akan berpesta
pora dan kita akan mendapat hadiah perasaan nyaman.
Bila sebaliknya yg terjadi maka muncullah marah dan
mulai mencari alasan atau pembenaran bahwa anaknya
lah yang nakal atau alasan lainnya.
Menemukan sekaligus menyadari bahwa semua emosi
termasuk marah, sedih, gelisah, cemas adalah berasal
dari dalam dan diri sendirilah yang sepenuhnya
bertanggung jawab adalah penemuan besar, melebihi
penemuan pesawat terbang.
Hal ini adalah bagaikan mendapat langkah besar menuju
ujung perjalanan diri yaitu mengenali siapa diri sejati ini.
Dalam meditasi saya juga menemukan kegelisahan yang
bersarang di dalam.
Lebih jauh saya menyadari bahwa emosi ini berasal dari
penolakan saya pada luka yang ada di wajah.
Saya tidak mau wajah saya seperti ini, saya tidak bisa
menerima tambahan variasi yang bertengger disamping
mata kiri ini.
Kenapa saya tidak mau menerima?
Jawabannya adalah saya telah melekat pada image
(baca:ego) yang telah saya ciptakan sebelumnya.
Ego tidak ingin turun pangkat, ia ingin terus berkembang
seperti para ekonom yang selalu mencanangkan
pertumbuhan ekonomi.
Ratusan milyard dollar setiap bulan dikeluarkan untuk
dapat mempertahankan citra penduduk bumi, dari
busana, kosmetik, anti aging sampai operasi plastik.
Ada nuansa ketidakrelaan ketika ingin menerima keadaan
yg terjadi.
Ketakutan berkurangnya penerimaan, penghargaan,
pengakuan seperti sebelumnya adalah bagaikan dosis
narkoba yang dikurangi.
Tatkala menyadari semua ini, saya berbicara pada ego.
"Hi Ego yg menciptakan kegelisahanku, terimakasih atas
semua hal yang telah kamu lakukan selama ini, saya
sering menikmati peranmu dan menggunakanmu untuk
keinginan dan kepentinganku.
Dan saat ini Kesadaran telah menuntunku untuk
menjelajah lebih dalam lagi dimana aku harus
meninggalkanmu disini.
Relakan dirimu untuk melepaskanku seperti aku
membiarkanmu pergi.
Sekali lagi Terimakasih dan Salam Bahagia "
Dialog dengan ego mungkin perlu diulang bahkan sampai
belasan kali dikesempatan lain.
Bila luka di kulit saya memilih untuk menggunakan lidah
buaya dan bahan alami lainnya, tulisan diatas ini adalah
cara saya membereskan emosi didalam. Tentu ada
ratusan cara atau jalan lainnya, silakan ikuti yang
paling cocok dihati.
Setiap masalah yang hadir adalah bagaikan perangkat
pertukangan yang hadir. Dengan palu, gergaji, sekop
dimana kita bisa gunakan untuk membangun rumah ego
yg megah dan membiarkan jiwa terkungkung di dalamnya
atau menghancurkannya dan membiarkan sang jiwa
terbang bersama sayap kesadaran.
Salam sadar #Gobind

..::SAKIT DAN MENDERITA ITU BERBEDA::..

Pelajarannya adalah bahwa kejadian diluar bisa
bermacam-macam, mustahil kita bisa mengontrol
sepenuhnya, namun kebahagiaan dindalam adalah
sepenuhnya urusan kita sendiri.
2 orang mendapatkan sakit yang sama, yang satu
menderita dan yang lain tetap bahagia.
Artinya Syarat bahagia bukan sembuh dari sakit, atau
apapun kondisi luar lainnya.
Sakit dan menderita adalah dua hal yang berbeda.
Ketika kita menerima sakit, kita tetap bahagia, disaat
kita menolaknya, penderitaan bertamu.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak
waktu tenaga dan kegiatan, kita habiskan dalam
kelelahan untuk membangun figur hebat, kaya, fantastik,
luar biasa dan lainnya.
Semuanya memang terlihat 'lebih' namun kalau kita mau
jujur kita semua juga tahu bahwa kita melakukan semua
itu tak lain untuk menutupi kekurangan-kekurangan di
dalam diri.
Ketika diri ini sudah tidak melekat pada pandangan
orang lain, tatkala kita sudah melewati keinginan untuk
membuat orang lain terkesan pada kita, disanalah jiwa
mulai tumbuh.
Tatkala ego mati, jiwa bangkit - Gandhi
Salam Bahagia #Gobind V

.:: BAHAGIA ITU TELANJANG::.

Secara alami seorang anak tidak pernah membenci
warna, bendera atau atribut apapun, sepanjang
perjalanan hidup kita terlalu banyak menelan program
yang tak selaras yang sering membuat emosi di dalam
meluap.
kita berantem karena konsep, kita bertengkar karena
atribut, seandainya saja kita mau menyisihkan waktu
merenungkan dimanakah kita semua sebelum ada diperut
ibu?
Sebelum kita memiliki tubuh manusia dan di sebut orang
Jawa, orang Madura, orang Arab atau India. Sebelum
gelar atau jabatan tersemat, sebelum nama dan kasta
dicantumkan.
siapakah kita sebelum itu semua ada?
Pikiranku tak mampu menjangkau, memoriku tak mampu
mengingatnya, namun jauh didalam sana ada suara
samar yang aku yakini kebenarannya, bahwa dahulu di
dalam rahim Ibu semesta kita saling semua saling
bergandeng tangan, saling memandang, tersenyum dan
berpelukan.
#Ghobin V

Simulacra & Perversion

  Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...