Sabtu, 02 Juli 2016

.:: "KALIMAT-KALIMAT TAUHID DALAM AL-QUR’AN, SEBUAH UPAYA PENEMUAN JATI DIRI"::.

Muniri Chodri, Dalam suatu kesempatan, saya terlibat diskusi tentang pertentangan Ahli fiqh dan kaum Sufi. Ahli fiqh menyangsikan amaliah yang dilakukan oleh kaum Sufi yang konon katanya banyak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadits. Dalam diskusi tersebut, ada satu teman yang rupanya menyangsikan amaliah kaum Sufi, pertanyaan mendasarnya berkaitan dengan “siapa yang seharusnya diikuti, Nabi Muhammad atau kaum Sufi? padahal sudah jelas kaum Sufi, semua pengikut Nabi Muhammad, sedangkan Nabi Muhammad sendiri menganjurkan bahwa al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk amaliah ta’abbudiyyah”. Salah satu teman menanggapi, bahwa sebenarnya pertanyaan tersebut, telah menjadi debat panjang antara Ibnu Athaillah Assakandary dengan Ibnu Taimiyah, keduanya sama-sama kuat dalil aqli maupun naqlinya, sampai akhirnya Ibnu Taimiyah mengaku kalah ketika Ibnu Athaillah Assakandary bisa menebak apa yang akan dilakukan Ibnu Taimiyah, padahal belum dilakukan, masih hanya sebatas rencana yang tinggal dilaksanakan. Namun, bukan berarti pengakuan kalah Ibnu Taimiyah lantas otomatis argumentasinya dalam debat “salah”. Justru, mereka berdua menemukan kata sepakat, bahwa berbicara amaliyah ta’abbudiyah kembali kepada individu masing-masing, yang yakin dengan jalan fiqh silahkan, demikian yang yakin dengan jalan Sufi juga silahkan. Salah satu teman memperkuat argumentasi kaum Sufi, dengan menyampaikan bahwa dalam al-Qur’an ada empat kalimat tauhid, antara lain; Laa ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), Laa ilaha Illa Huwa (Tiada Tuhan selain Dia), Laa ilaha Illa Anta (Tiada Tuhan selain Engkau), dan yang terakhir Laa ilaha Illa Ana (Tiada Tuhan selain AKU). Menurutnya, kalau kalimat-kalimat ini dikaji secara bahasa, tentu sebagaimana arti yang sudah dituliskan di atas. Namun, bagi kaum Sufi, kalimat-kalimat di atas, menjadi sesuatu yang bermakna luar biasa, yang berkenaan dengan kondisi ruhiah seseorang yang mengalami ektase ilahi. Karena sudah waktunya bubar, teman saya hanya berhenti disitu penjelasannya. Kurang lebih satu bulan lebih, saya coba mengkaji sendiri kalimat-kalimat tauhid di atas, dan sambil mengumpulkan referensi dari teman-teman saya yang sudah menjalani kehidupan Sufi. Sebenarnya, saya sendiri belum tahu pasti mana urutan pertama yang muncul dalam al-Qur’an dari sekian kalimat-kalimat Tauhid di atas. Tapi, sepertinya saya lebih suka jika susunannya seperti yang saya tulis di atas. Pertama, kalimat tauhid “Laa ilaha Illa Allah”, bagi pejalan Sufi yang menghayati kalimat tersebut, beranggapan bahwa meng-Esakan Allah adalah hal pertama yang perlu dilakukan, penisbian atas selain Allah sehingga diri benar-benar haqqul yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah. Hingga seseorang berkeyakinan, hanya Allahlah Sang Pencipta, Pemberi, dan Pengatur segala yang ada di alam semesta. Tentulah, bagi orang yang berkeyakinan seperti ini, ia hanya takut dan berharap kepada Allah. Bagi orang ini, sangat tegas batas antara Pencipta dan yang diciptakan, Allah bisa sebagai dzat yang Maha Menghukum bagi pelaku kejahatan, dan disisi yang lain sebagai dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang bagi pelaku kebaikan. Sangat jelas pula, mana baik menurut Allah, dan mana yang buruk menurut Allah, dan semua manusia harus mengikuti ketentuan tersebut. Selanjutnya, kalimat tauhid “Laa ilaha Illa Huwa”, orang yang sudah sampai pada penghayatan kalimat ini, penggambaran tentang Allah berbeda dengan yang sebelumnya, proyeksi tentang Allah menjadi kabur, tetapi Allah sesuatu dzat yang pasti “ada’, seperti apa wujudnya, hanya Allah yang tau. Allah suci dari proyeksi pikiran manusia. Dalam hal ini, Ibnu Araby menjelaskan sucinya Allah adalah kondisi dimana Allah hanya dapat ditunjuk dengan kata “Dia” (Huwa) yang sendiri, “Dia” yang keberadaan dan kesendiriannya tidak dapat dilukiskan karena kemenyendirian-Nya, sehingga “Dia”, satu-satunya, yang berhak memiliki wujud dan disebut sebagai wujud. Tingkat penghayatan kalimat tauhid selanjutnya adalah ”Laa ilaha Illa Anta”. Orang yang sampai pada penghayatan ini, ia sudah memandang semua yang ada di alam semesta ini adalah Allah, baginya Allah benar- benar hadir, dan kehadiran Allah benar-benar nyata dirasakan oleh kesejatian ruhnya. Dalam setiap entitas ada Allah, tidak pandang apa wujudnya, benda yang kelihatan hidup, maupun yang kelihatan mati, yang kelihatan indah maupun yang kelihatan sebaliknya. Orang yang sudah sampai pada penghayatan ini, meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta semuanya dalam “kesatuan”, dan meyakini pula bahwa satuan wujud ternampak yakni, benda, tersusun dari satuan terkecil yang bernama molekul, satuan terkecil dari molekul adalah atom, kemudian partikel merupakan satuan terkecil dari atom, dan satuan terkecil dari partikel adalah realitas quanta, dan yang paling halus yakni quark, semakin kecil susunannya, getarannya justru lebih konsisten dan cepat. Orang ahli fisika mengatakan bahwa alam semesta adalah realitas energi yang menyatu dan sama-sama mempunyai getaran energi magnetik, fakta getaran energi ini dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa di langit dan di Bumi semuanya bertasbih menyebut nama Allah. Dan yang terakhir, kalimat tauhid “Laa ilaha Illa Ana”, sebuah titik penghayatan yang paling dalam tentang Allah. Konon Al-Hallaj mengatakan “Ana al- Haq” dan Syek Siti Jenar mengatakan “Manunggaling Kaulo Gusti”, yang ia katakan ketika mengalami puncak ektase kesatuan dengan Allah. Sebuah perkataan yang paradok pada zamannya, hanya untuk menjelaskan “aku dalam Allah, dan Allah dalam aku”. Dalam hadits Qudsy dikatakan, “ana inda dzonni ‘abdy” (Saya menurut apa yang hambaku sangkakan), dengan demikian jika “sangkaan” manusia yang menjadi barometer proyeksi tentang Allah, secara otomatis manusia sudah menarik konsep Allah pada level “Ana” (Saya). Maka, sebagaimana hadits Qudsy tersebut, sebenarnya manusia sendirilah yang mendisien mau seperti apa Allahnya dalam pikiran dan rasanya, dari disien pribadi tentang Allah inilah yang menentukan cara berpikirnya, disadari atau tidak cara berpikirnya menjadi penentu cara pandang, dan dari cara pandang perjalanan hidupnya ditentukan. Laa ilaha Illa Ana, bisa jadi kalimat tauhid ini, menjelaskan bahwa “Ana” (saya) inilah yang menjadi lokus kesadaran, dengan kesadaran yang bermuara pada “diri”, akhirnya manusia tidak lagi menyalahkan Allah dan juga manusia lain, jika mengalami sebuah kejadian yang tidak menguntungkan dirinya, karena semua kejadian yang terjadi berasal dari vibrasi energi pikiran dan perasaannya. Inilah, kemudian kita menamakan “kesadaran diri’, sebuah kesadaran yang berada di kedalaman diri masing-masing individu, yakni “jati diri”. Orang yang menemukan dan mengetahui jati dirinya, maka ia akan menemukan dan mengetahui Allah, sebagaimana ungkapan “man ‘arafa nafsahu, faqod ‘arafa rabbahu” (Barang siapa mengetahui jati dirinya, maka ia telah mengetahui Rabb-nya). Setelah individu mengetahui jati dirinya (Laa Ilaha Illa Ana), titik baliknya akan lebih selaras dengan “Anta” (Laa Ilaha Illa Anta), sebagaimana Anta kata ganti dari entitas yang berada di depan kita, yang dekat dan terlibat langsung, nyata sifatnya secara fisik, Anta ini berkaitan dengan entitas tanpak yang ada di alam semesta. Dilanjutkan pada kata “Huwa” (Laa Ilaha Illa Huwa), sebuah kata ganti ketiga tunggal, kata Huwa adalah analog dari penjelasan tentang keberadaan entitas yang tidak tanpak secara fisik. Dengan demikian, orang yang mengetahui ke-saya-annya cendrung selaras dengan yang tampak maupun yang tidak tampak, jika sudah selaras sedemikian rupa, maka orang tersebut dapat ditegaskan selaras dengan kesadaran ilahi, diri yang utuh secara universal, keterhubungan, meliputi dan menyeluruh, semua dalam Allah dan Allah dalam semua, Laa Ilaha Illa Allah. Inilah menurut saya, makna dari Man ‘arafa nafsahu, faqot ‘arafa rabbahu. Dari hasil kajian ini, saya beranggapan kenapa Ulama terdahulu mengedepankan ajaran “Tauhid” sebagai pengetahuan pertama yang harus dipelajari, karena dari ajaran tauhid sebagaimana penjelasan dari kalimat- kalimat tauhid versi saya di atas, mungkin saja dengan menarik Allah pada level “Ana” (saya), akan berakibat positif pada kepribadian semua manusia sebagai khalifah di Bumi, yang akan memberikan kedamaian di Bumi, serta berakibat pula pada terwujudnya keseimbangan alam semesta. Allahu a’lam bi al-shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Simulacra & Perversion

  Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...