Selasa, 21 Februari 2017

ALGORITMA KEHIDUPAN

Akhir-akhir ini, gerakan masyarakat yang menolak
Ahok semakin membesar, terlebih setelah sikap
kasarnya kepada Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin di
persidangan beberapa hari lalu. Ahok semakin
disudutkan. Dia yang sudah menjadi tersangka penista
agama, sekarang bertambah menjadi penghina ulama
NU. Meskipun Ahok sudah minta maaf dan dimaafkan,
namun tetap saja masih banyak orang yang tidak suka
dan marah padanya.
Di balik kemarahan banyak orang terhadap Ahok
dengan berbagai alasan, sebenarnya sikap mereka
tidak lepas dari peran algoritma yang bekerja
mempengaruhinya. Algoritma, atau dulu disebut
Aljabar, pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ja’far
Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi, dalam bukunya
al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa'l-muqabala,
atau "Buku rangkuman untuk perhitungan dengan
menyelesaikan dan menyeimbangkan ”.
Peran Algoritma Dalam Kehidupan Sehari-hari.
Arti sederhana dari algoritma adalah susunan
langkah-langkah logis dan sistematis untuk
memecahkan suatu masalah atau untuk mencapai
tujuan tertentu. Pada era internet saat ini, algoritma
secara otomatis dan terus menerus dijalankan oleh
sebuah program. Sejak dari kapan harus mulai, arah
aliran program, input dan output data, proses,
decision , hingga pengahiran, untuk kemudian diulang
kembali.
Yang dimaksud program adalah rangkaian intruksi
yang ditulis untuk melakukan fungsi spesifik pada
komputer. Sedangkan metode dan tahapan sistematis
dalam program adalah algoritma.
Dengan algoritma, manusia dimudahkan untuk
melakukan segala aktivitasnya. Algoritma yang
terpasang pada Maps, bisa memberi tahu jalan
tercepat untuk pulang ke rumah. Kita juga mudah
mencari segala macam informasi dengan Search
Engine , hanya dengan memasukan beberapa input
kata saja.
Dalam dunia marketing, algoritma dipakai untuk
menyasar customer secara tepat. Sering kita
menerima bermacam penawaran masuk ke email kita.
Gadget kita mendapat kiriman iklan promo yang rasa-
rasanya pas dengan yang diinginkan. Saat membuka
sebuah halaman berita atau artikel pada sebuah situs,
muncul iklan yang terasa cocok dan bahkan kita
pernah melakukan transaksi.
Mengapa bisa terjadi? Hal ini terjadi karena,
sebelumnya kita telah melakukan aktivitas-aktivitas
digital yang terhubung dengan internet. Kita pernah
menginput data diri, mulai dari nama, jenis kelamin,
umur, tempat tinggal, hoby, alamat email, nomor
handphone dan lain-lain, sehingga terekam secara
digital di dunia maya.
Kebiasaan dalam beraktivitas di media sosial dan
kebiasaan browsing hal-hal tertentu, serta aktivitas
belanja dengan menggunakan kartu kredit adalah
merupakan input data bagi algoritma untuk
memprofiling diri kita. Selanjutnya, kita akan
mendapatkan kiriman-kiriman berupa penawaran
iklan, rujukan artikel, berita, fans page , aplikasi dan
lain-lain, yang sesuai dengan keinginan.
Namun, tanpa disadari algoritma juga berpotensi
mempersempit cara berpikir kita (BBC : Algorithms are
making us small-minded, by Sydney Flinkelstein)
. Ini disebabkan kita terus disodori hal-hal yang
disukai saja. Dalam jangka panjang, kita hanya akan
percaya pada ‘dunia’ kita saja. Informasi yang datang
dari luar akan langsung ditolak, karena kita sudah
terkungkung rapat dan terlena di zona nyaman kita
sendiri.
Algoritma Dalam Kasus Ahok
Kembali pada kasus Ahok. Awalnya, meskipun tidak
suka terhadap Ahok yang statusnya double minoritas
(suku dan agama), seseorang bisa saja menerimanya
sebagai Gubernur DKI. Ini sebagai bentuk
konsekwensi berdemokrasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, kearoganan Ahok
dalam memerintah menjadi input awal bagi orang
tersebut untuk memutuskan ketidaksetujuannya pada
Ahok. Orang tersebut kemudian aktif mencari dan
membaca informasi tentang kejelekan dan
ketidakpantasan Ahok sebagai Gubernur.
Di sinilah algoritma berperan. Setiap informasi digital
yang dibaca, setiap status, like , share dan tweet di
media sosial, direspon oleh algoritma dengan
meyodorkan kembali informasi yang mendukung pola
pikirnya. Akan muncul artikel, berita atau tweet dari
tokoh tertentu yang menguatkan ketidaksukaannya
kepada Ahok.
Di samping itu, Ahok sendiri dengan sikap dan
ucapannya, juga ikut berperan menyuplai algoritma
dengan data negatif. Berita Ahok menista agama,
yang kemudian diperkuat dengan pendapat MUI dan
ancamannya terhadap KH Ma’ruf Amin, adalah data
yang oleh algoritma dialirkan ke orang-orang yang
tidak suka dan berpotensi menguatkan
ketidaksukaannya pada Ahok. Mindset bahwa Ahok
seorang yang jahat, penista agama dan pantas
dimusuhi akan semakin kuat tertanam.
Selanjutnya, orang tersebut akan digiring untuk
dipertemukan dengan fans page atau account medsos
yang sehaluan guna saling menguatkan. Pada
akhirnya, ketika emosi sudah terlibat terlalu dalam,
orang yang awalnya hanya tidak suka, namun masih
menerima Ahok sebagai Gubernur, tergiring oleh
algoritma dan berubah menjadi membenci. Ahok
dipandang sebagai musuh Islam yang pantas
dihukum.
Meskipun demikian, banyak juga orang yang terlepas
dari alur algoritma yang menyudutkan Ahok tersebut
dan tidak ikut-ikutan membenci. Hal ini disebabkan
memang banyak juga berita-berita tentang kebaikan
Ahok, yang bisa dijadikan second opinion , sebelum
memutuskan membenci, netral atau menyukai Ahok.
Anda termasuk yang mana??
Cara Bijak Agar Tidak Terjerat Algoritma
Algoritma, selain memudahkan aktivitas sehari-hari,
namun bila tidak hati-hati, bisa membuat pola pikir
menjadi sempit. Bahkan, di masa mendatang
diprediksi bisa mempertajam perbedaan, sekaligus
menyekat masyarakat dalam kelompok-kelompok.
Dalam aktivitas digital, setiap respon terhadap sebuah
berita atau status di medsos, akan diartikan pilihan
decision dari kita oleh sebuah alur algoritma yang
sedang berjalan. Selanjutnya, kita akan disodori data
lain untuk menguatkannya. Semakin kita respon
setuju, semakin banyak data mengalir untuk
menguatkan keyakinan kita, sehingga apabila emosi
sudah terlibat, tanpa sadar akan terjebak dalam alur
algoritma.
Untuk itu, saat emosi tinggi, kita perlu mengurangi
aktivitas digital, terutama media sosial, agar tidak
terjebak dalam alur algoritma yang berpotensi
mempersempit pola pikir. Kita harus selalu berpikiran
terbuka, dengan mengedepankan logika dan nurani
untuk menilai kebenaran dan manfaat suatu informasi
sebelum menanggapi.
Akhirnya, semoga bisa bijak dalam berinteraksi di
dunia digital, agar terhindar dari potensi dikerucutkan
oleh algoritma, yang bisa mempersempit ‘dunia’ kita
sendiri. Sekian. #Agus Suwanto, Kompasiana 4 Febuari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Simulacra & Perversion

  Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...