Minggu, 20 November 2016

SADAR SATU

Muhammad Nurul Banan, SADAR SATU Di level material, mata Anda jelas merasakan alam semesta ini merupakan bentuk keanekaragaman, bentuk pluralitas. Jangankan planet-planet yang terpisah-pisah hingga jarak ribuan kilometer, yang tipe rotasi perederan planetnya dan tipe materialnya berbeda-beda, tubuh Anda saja dilihat dari kesadaran materi sudah berbeda-beda, tangan beda dengan kaki, mata beda dengan hidung, dan seterusnya. Di level kesadaraan kebendaan, semua partikel alam berbeda-beda. Namun setiap keterpisahan selalu ada "satu" yang mengikat. Planet-planet beserta isinya itu beda-beda, tetapi ada "satu" yang mengikat, itu hanya satu tema "alam semesta". Tangan, kaki, mata, otak, hidung, itu berbeda-beda tetapi ada "satu" yang mengikat, itu "satu" tubuh. Ada papan tombol, ada layar, ada ram, ada charger, ada cassing, tetapi ada satu yang mengikat, itu "satu" Android. Semua realitas terikat pada "satu", tanpa terkecuali. Karena ini Tuhan menyatakan "qul huwa-llāhu ahad"; satu, hanya satu, lā syarīka lahu; tidak ada yang mendua. Dan ini ayat kauniyah, kesemestaan ini adalah kemahabijaksanaan wujud Tuhan. Pluralitas merupakan wujud nyata "satu", karena ini ketika Nabi S.A.W berdoa agar Islam menjadi "satu" sehingga tidak terpecah-belah seperti umat-umat terdahulu, doa Nabi S.A.W tersebut ditolak Allah. Allah tidak berkenan mengijabahi. Sebab dengan menghapus pluralitas itu sama artinya menghapus realitas "satu". Dan Anda tahu jika Yang Satu itu terhapus? Oke, Anda bilang Buya Syafi'i Maarif sesat, lantaran beliau memuliakan Ahok, Gus Dur sesat, lantaran beliau bergerak plural lintas agama dan lintas suku, tapi itulah kenyataannya, yang plural itu wujud satu, sehingga Buya Syafi'i Maarif dan Gus Dur yang merupakan pencapai spiritual tinggi merasa kaum di luar agamanya, kaum di luar sukunya, kaum di luar bangsanya bukan sebagai sesuatu yang beda, Buya Syafii dan Gus Dur merasa semua adalah "satu", itulah iman, itulah tauhid, itulah qul huwa-llāhu ahad. Mereka bukan tokoh-tokoh liberal seperti Anda tuduhkan, justru merekalah pencapai zikir tertinggi. Para pencapai spiritual selalu berorientasi plural, seperti Mahatma Gandhi berkata, “Jika kita percaya Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri kita maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau kelas, bangsa atau pun agama, kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia. Semua kegiatan saya bersumber pada cinta kasih saya yang kekal kepada umat manusia. Saya tidak mengenal perbedaan antara kaum keluarga dan orang luar, orang sebangsa dengan orang asing, berkulit putih atau berwarna, orang hindu atau orang india beragama lain, orang Muslim, Parsi, Kristen, atau Yahudi. Saya dapat mengatakan bahwa jiwa saja tidak mampu membuat perbedaan-perbedaan semacam itu. Melalui suatu proses panjang melakukan disiplin keagamaan, saya telah berhenti membenci siapapun juga selama lebih dari empat puluh tahun ini”. Kesadaran kebendaan selalu menyaksikan hal yang berbeda dan terpisah-pisah, maka ini jika kesadaran kebendaan seseorang sangat kuat, dia akan merasakan miskin dan kaya sebagai perbedaan menyolok, dan ini disebut sikap materialisme. "Agamamu dan agamaku berbeda, karena ini kamu kafir, dan aku ahli surga. Kamu halal aku bunuh, halal aku bom, halal aku maki-maki, halal aku diskriminasikan, dll.," sikap begini sebenarnya kesadaran level kebendaan, kesadaran miskin dan kaya itu beda, perlakuannya pun beda. Bom Samarinda, aksi 4 November silam, adalah contoh kecil menyeruaknya materialisme dalam kesadaran manusia, kesadaran benda-benda materi di alam semesta berbeda-beda, karena merasa beda dengan dirinya, maka tidak ada lagi kompromi. Aksi-aksi ini, walaupun dibungkus dalil-dalil agama adalah karakter yang sama dengan karakter Israel yang dengan membabi-buta merampas hak hidup muslim Palestina. Israel merasa, "Yahudi dan muslim Palestina beda suku, beda agama, karena ini bangsa Palestina layak dimusnahkan". Atau seperti kesadaran Donald Trump yang rasis dan fasis, muslim di AS hendak dia perlakukan berbeda. Atau seperti kesadaran para Budhis di Mynmar, muslim Rohingnya dirasakan sebagai hal berbeda, sehingga didiskriminasikan. Inilah wujud nyata kesadaran materialisme. Kesadaran ini, di dalam diri Anda, muncul bersamaan dengan kelahiran Anda di Bumi, artinya itu kesadaran bawaan bayi. Saya muslim, saya akan masuk surga, dan yang tidak menjadi muslim dan sampai mati tidak menjadi muslim, maka dia masuk neraka, tanpa kompromi. Bukankah begitu yang ada di kesadaran Anda? Dan Anda yang non muslim juga demikian, menganggap muslim sebagai ahli neraka. Padahal tahukah Anda? Anda beragama ini dan itu semata-mata ikut orang tua. Kalau Anda anak Ratu Elizabeth Anda jadi Katolik, Anda anak Raja Bumibol Adulyajed Anda menjadi Budha, Anda anak dari Raja Abdul Aziz Anda menjadi muslim. Itu kesadaran bawaan bayi Anda. Sudahkah Anda dewasa? Dari bayi Anda punya bawaan sadar demikian, sekarang Anda amati antar golongan agama di sekitar Anda. Yang muslim sedekah, yang non muslim juga sedekah. Yang Kristen maksiat, yang muslim juga maksiat. Maria Ozawa--yang saya tidak tahu dia beragama apa--menjadi artis porno, juga banyak artis-artis porno dari kalangan muslimah, kalangan kristiani, kalangan budha, dan sebagainya. Dari karakter diri, semua menjadi "satu". Yang muslim punya rasa sedih, yang non muslim juga sedih, yang non muslim punya rasa bahagia, yang muslim juga punya rasa bahagia. Dari rasa, semua menjadi "satu". Hanya kesadaran materiallah yang menyadari ada kotak pemisah antara "dia dan aku", antara "kafir dan mukmin", antara "hitam dan putih", antara "miskin dan kaya". Sekalipun dia berjubah ulama, selaksa dalil yang dia kuasai, sekalipun dia berjubah pendeta dengan kalung salib besar dengan Injil sebagai hujah, sekalipun dia berujubah Budha berkepala pelontos dengan kalung Jenitri besar, sekalipun dia berjubah Brahma Hindu dengan simbol Shiwa besar, tetapi jika masih sadar "elu sesat aku paling surga" itu kesadaran masih materialistik, ujung-ujungnya orang masih doyan duit. Yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah akhlak memberantas pungli, memberantas korupsi, memberantas banjir, bukan akhlak sekedar pandai senyam-senyum santun. Bukan lagi waktunya menyudutkan salah satu putra bangsa dengan issu-issu "kafr", karena bukan seperti itu ajaran agama. Apalagi sampai bakar masjid atau bom gereja. Sudah saatnya kita jalankan agama kita dengan kasih, jalankan agama dengan tertib, jalankan agama sebagai "satu", bukan agama yang memisah-misahkan karakter dan rasa kita sebagai "satu" umat manusia, "satu" Indonesia. Anda biasanya tanya, mana dalilnya? Saya jawab, "Anda tidak butuh dalil, Anda hanya butuh sadar satu. Anda butuh sadar, sadar, sadar." "Katakanlah, Dia Allah Yang Maha Esa (Q.S. Al-Ikhlāsh : 1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Simulacra & Perversion

  Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...