Oleh : Gobind Vashdev
Setelah teori tentang pencapaian keinginan dengan hasrat
yang menggebu-gebu mulai ditinggalkan, teori ikhlas dan
pasrah mulai menggeliat di kelas-kelas pelatihan
pengembangan diri.
Banyak sahabat yang bercerita bagaimana pencapaian
jauh lebih besar, lebih cepat, lebih permanen dan lebih
nyaman bisa didapat bila menggunakan keikhlasan
sebagai dasar dalam melangkah.
Tentu saya setuju lebih berserah pada apa yang akan
terjadi lebih baik daripada menggenggam keinginan dan
menggunakan segala daya upaya agar target menjadi
harus didapat, kalau perlu melakukan barter, atau
memerintah bahkan menodong Tuhan.
Namun setiap kali mendengar cerita keikhlasan dan
diakhiri dengan kesenangan atas pencapaian dari suatu
tujuan atau harapan, setiap kali pula hati saya
bertanya, bagaimana bila keinginan itu tidak terwujud
atau bahkan berseberangan dengan hasil yang
diharapkan? Apakah kebahagiaan kita tetap sama ?
Walau sering mendapati sahabat yang bernada dan
berekspresi berbeda ketika menjawab bahwa dirinya tetap
bahagia disaat goal tidak tergapai, saya tidak berhak
memvonis tingkat kebahagiaan seseorang.
Kita semua sedang bertumbuh.
Masih teringat bagaimana masa kuliah management saya
isi dengan mencibir orang yang tidak punya tujuan,
setiap hari dipikiran ini hanya strategi dalam mengejar
materi sampai-sampai mengorbankan kesehatan juga
kedamaian pikiran. Setelahnya bertahun-tahun saya
menambahkan usaha lain agar mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Semakin usia bertambah, hadir kesadaran baru bahwa
menjalani hidup yang bermakna jauh lebih
membahagiakan, kesadaran ini menelorkan kata
"kontribusi" sebagai jargon utamanya.
"bukan berapa banyak yang kau kumpulkan namun
seberapa besar yang kau kontribusikan yang membuat
perbedaan mencolok dalam dirimu"
Dan dengan kesadaran saat ini, materi dan pengakuan
telah memudar kemilaunya, sementara tujuan dan
kontribusi juga bukanlah hal yang penting lagi.
apa yang bisa kita banggakan dari kontribusi yang kita
berikan, bukankah semua kepintaran, kesehatan, materi,
bahkan peluang adalah pemberianNya.
Tujuan dan kontribusi sering mengandung "aku", dengan
kata lain ada ego yang halus bersembunyi dibalik tameng
tujuan dan topeng kontribusi.
Ketika seseorang mengikhlaskan ego untuk pergi, maka
ia akan menemui dirinya ditopang oleh kekuatan yang
tak terhingga, ia menyatu dan berpelukan dengan arus
semesta yang mengalir.
Keikhlasan bukanlah metode untuk mencapai sesuatu
yang diharapkan. Keikhlasan adalah sebuah tingkat
kesadaran yang bukan hanya melepaskan hasil yang akan
diperoleh, tapi juga sikap serta cara memandang yang
netral, dimana putih tidak lebih baik daripada hitam,
kesedihan bukan berlawanan dengan kegembiraan dan
sakit tidak berbeda dengan sehat.
Keduanya diterima serupa seperti saudara kembar.
Layaknya anak-anak yang bermain jungkat-jungkit, mau
di atas atau di bawah, yang menghias wajahnya
hanyalah senyuman.
Akhirnya saya juga sadar, bahwa ada yang setuju dan
pasti juga ada yang menolak tulisan ini. Baik yang suka,
atau yang mencemooh, semuanya diterima dengan
senyuman yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar