Pernah gak anda mengamati ... Beberapa anak kecil
yang berkelahi rebutan mainan ... Salah satu kalah,
yang kalah menangis meraung-raung sejadi-jadinya ...
Bahkan berguling-guling di lantai ... Marah, sedih,
kecewa, meledak melalui tangisannya ...
Apakah anak kecil itu lebay / berlebihan? ... Tunggu
dulu ... Perhatikan setelah itu ... Satu jam kemudian ...
Anak-anak yang bertengkar tadi, bermain bersama
kembali, seolah tidak pernah ada perseteruan yang
terjadi di antara mereka sebelumnya ... Kok bisa? ...
Apa sebenarnya rahasia mereka? ...
Rahasianya, anak-anak diberikan ruang "kemakluman"
untuk mengungkapkan emosinya ... Ketika anak-anak
menangis, orang-orang maklum dan mengatakan, "yaaah
namanya juga anak-anak" ... Itulah sebuah ruang
perlakuan, dimana anak-anak diberikan kesempatan,
utuk menyembuhkan diri mereka ...
Lalu amati orang dewasa ... Nampak cool ... Setelah
berselisih pendapat, seolah tidak ada apa-apa ... Tidak
ada tangisan ... Tidak ada guling-guling di tanah ...
Tidak ada raungan ... Tapi sejak itu, putuslah
pesahabatan ... Iya khan? ... Anak-anak hanya butuh 1
jam ... Orang dewasa bertahun-tahun ... Mengapa? ...
Saat dewasa, ada norma dan nilai, yang membunuh
kemampuan alami penyembuhan emosi ... Nangis itu
lemah ... Marah itu jelek ... Dan sebagainya ...
Sehingga, semenjak beranjak dewasa, kita lebih
diarahkan untuk menumpuk emosi di dalam, daripada
dibuang keluar ...
Dengan ditumpuk ke dalam ... Memang nampak elegan ...
Memang nampak tenang, damai dan diam ... Tapi tidak
kah anda heran ... Orang yang kita sebut orang baik,
banyak diam, malah cenderung penyakitan dan mati
duluan? ... Sementara orang yang kita sebut bangsat,
ngomong asal njeplak, malah sehat bugar umurnya
panjang? ...
Anak kecil, tampil apa adanya dan diberikan kebebasan,
mengungkapkan emosi mereka ... Sementara orang
dewasa, malah memilih tidak merdeka dan lebih suka
mengenakan topeng sebanyak-banyaknya ... Di sosial
media, orang dipaksa pula begitu pula ... Tidak tampil
apa adanya ... Akhirnya, antara "ruang tamu jiwa" dan
"dapur jiwa", sangat kontras keadaan aslinya ...
Semakin terkenal, semakin populer, semakin berpura-
pura ... Semakin dituntut sempurna ... Semakin banyak
aturannya ... Kalau di facebook, semakin tidak merdeka
membuat postingannya, karena takut dikomentarin,
"anda khan public figur, mosok statusnya begini?" ...
Kasihan sekali khan hahahahaha ... Semakin sukses,
semakin menderita ... Karena semakin sempit ruang
pemaklumannya ...
Padahal alam itu, tampil apa adanya, seperti anak kecil
dengan kepolosannya ... Saatnya gunung meletus, dia
meletus ... Saatnya badai, dia badai ... Saatnya hujan
petir, dia hujan petir ... Apa adanya ... Sudah benar
adanya dan begitulah seharusnya ...
Alam tidak menahan-nahan dinamikanya, untuk menjaga
image ... Gunung tidak berpikir, "gua kagak meletus ah,
ntar dianggap saya pembawa bencana" ... Petir tidak
mempertimbangkan, "gua kagak nyamber ah, kelihatan
nanti tidak ramah" ... Tidak ada itu begitu-begitu ...
Alam mengekspresikan dinamika dirinya dengan apa
adanya ...
Semakin banyak teman, bisa jadi semakin banyak gak
boleh gini, gak boleh gitunya...
"Media sosial, adalah ruang dinamis bagi setiap orang
untuk bertumbuh ... Tapi bila tidak diwaspadai ... Media
sosial adalah ruang sempit untuk membunuh ...
Membunuh kemerdekaan ... Membunuh kejujuran ...
Membunuh kealamian yang apa adanya ..." Kaya kuwe lah
...
Tidak setuju? ... Tidak apa-apa hahahahahahahaha .
Ini adalah Blog Pribadi Segala resiko menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Semoga Semua Mahluk Berbahagia Rahayu!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Simulacra & Perversion
Primordial Nature Home JUN 3 Simulacra and Perversion SIMULACRA & PERVERSION Kesehatan mental itu hanya bisa didapat bila berada dalam...
-
Muhammad Nurul Banan, KARAKTER ORANG LAIN SEBAGAI SUMBER KEREZEKIAN Beberapa bulan lalu saya menaikan daya listrik rumah saya, menjadi 38...
-
Danz Suchamda, MEDITASI BUKAN BERARTI SEKEDAR TEKNIK Meditasi adalah suatu keadaan menjaga kesadaran dan perhatian secara terus m...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar